Sabtu, 31 Juli 2010

Terasing di Negeri Sendiri


Ratusan kilometer jarak yang ditempuh Arnold Panahal tidak menjadi jaminan tujuannya akan tercapai. April yang lalu, ia berangkat dari kampung halamannya di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara menuju Jakarta untuk mengikuti putusan gugatan pencabutan UU No.1/PnPs/1965 tentang Penodaan dan Penistaan Agama. Sebagai penghayat kepercayaan, Arnold meyakini bahwa isi dari undang-undang itu tidak berpihak pada mereka karena bersifat diskriminatif. Namun, apa mau dikata, putusan akhir sudah ditetapkan. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dengan hasil sidang 8:1.

Arnold dan penghayat kepercayaan lainnya jelas kecewa terhadap keputusan ini. Harapan untuk mendapatkan pengakuan dari negara sebagai keyakinan yang resmi serta perlakuan yang adil pupus sudah.

Sebenarnya, pada UU Dasar 1945 pasal 29:2 menyebutkan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya tersebut. Keputusan itu menunjukkan bahwa aliran kepercayaan diakui sebagai bentuk keberagaman yang sah. Namun, pada praktiknya negara malah melakukan dikotomi terhadap agama dan kepercayaan di Indonesia.

Dikotomi itu terwujud dalam UU No.1/PnPs/1965 Pasal 1 dan Tap MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang menyatakan hanya ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia, yaitu; Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Sementara itu, penghayat kepercayaan dikategorikan dalam agama tidak resmi.

Hal ini menjadi problema besar bagi para penghayat kepercayaan. Akibat peraturan ini mereka selalu mendapatkan tekanan melalui pembatasan hak-hak sipil dan politik, seperti tercermin dalam masalah perkawinan di catatan sipil, dan masalah akte kelahiran. Bahkan, dalam urusan mendirikan rumah ibadah pun sulit karena seringkali terdesak oleh perlakuan represif dari pemeluk agama mayoritas.

Bukan hanya itu, anak-anak mereka pun mengalami diskriminasi dalam pendidikan. Dalam kurikulum sekolah, mata pelajaran agama termasuk dalam mata pelajaran yang wajib diikuti. Namun, mata pelajaran agama di sekolah formal hanya mengakomodasi enam agama resmi saja. Penghayat kepercayaan harus memilih salah satunya karena aliran kepercayaan tidak diakui dalam sistem pendidikan.

Jika ditelisik secara historis, dalam salah satu pasalnya, UU No. 1/PnPs/1965 sebetulnya dibuat dalam rangka menjaga semangat revolusi bangsa Indonesia;

"...di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama”.


Pemerintahan Soekarno beranggapan, penodaan agama berpotensi mengancam revolusi dan perpecahan karena kondisi negara yang belum stabil. Namun, pasca Orde Lama runtuh dan digantikan dengan Orde Baru hingga sekarang berganti lagi menjadi Orde Reformasi, undang-undang tersebut justru menjadi legalitas dalam melakukan tindakan diskriminatif dengan wujud pembatasan hak beragama dan berkeyakinan.

Undang-undang itu juga merupakan cerminan betapa lemahnya pemahaman negara akan makna sebuah agama. Negara hanya memahami agama pada pemahaman mainstream yang harus memiliki Pembawa Risalah (Nabi) dan Kitab Suci seperti Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Inilah yang menjadikan aliran kepercayaan tidak disebut sebagai agama.

Realitas itu menunjukkan terjadinya penunggalan tafsir agama yang sekadar memenuhi unsur-unsur mekanik, bukan makna substansial yang mendasari kepercayaan terhadap Tuhan.

Jauh sebelum agama-agama resmi datang, bangsa Indonesia sudah menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dinamisme). Karen Armstrong dalam Sejarah Tuhan, menyebut kepercayaan ini sebagai monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.

Aliran kepercayaan ini adalah agama yang hidup di dalam komunitas adat. Dengan kata lain, aliran kepercayaan adalah agama lokal yang ditemukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Ironisnya, agama lokal yang justru sudah ada lebih dulu dibanding agama-agama resmi, kini malah terasing di negerinya sendiri.

Terjebak Praktik Kapitalisme

Tersingkirkannya masyarakat adat dalam proses-proses politik pembuatan kebijakan publik menimbulkan beragam konflik dan berdampak ekologis yang merugikan masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya.

Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan agama lokal pun hanya sebatas pada bingkai ekonomi, pariwisata, dan kebudayaan yang tentu saja akan mereduksi nilai-nilai dasar yang mereka yakini. Agama lokal dan masyarakat adat selama ini hanya dijadikan bagian dari daya tarik internasional untuk dipertononkan sebagai kekayaan bangsa dalam jargon-jargon pariwisata.

Bukan itu saja, minimnya regulasi yang menjamin dan melindungi keberadaan mereka pada akhirnya mengancam eksistensi mereka dalam mempertahankan tanah adat. Selama ini masyarakat adat dan penghayat kepercayaan banyak yang tinggal di pedalaman. Ini mereka lakukan demi menjaga dan melestarikan tanah adat peninggalan leluhur. Selain itu, tanah-tanah adat ini pun sudah menjadi bagian dari kehidupan religius mereka karena sering digunakan dalam kegiatan-kegiatan ibadah.

Namun, negara justru berlaku kontradiktif dengan membiarkan tanah adat itu dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemilik modal. Beberapa kasus di Indonesia seringkali diwarnai konflik antara pemerintah, masyarakat adat, dan juga pemilik modal. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesepakatan antar pihak-pihak yang terlibat. Kalaupun ada, kesepakatan itu seringkali merugikan masyarakat adat.

Padahal Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang turut serta menandatangi Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat di New York, Amerika Serikat pada 2007 lalu.

Salah satu pasal deklarasi itu menyebutkan bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan.

Secara tidak langsung Indonesia telah melanggar komitmennya sendiri dan telah menghianati kesepakatan yang telah disetujui negara-negara di dunia.
Saya meminjam pernyataan Mas Marco Kartodikromo, seorang tokoh nasional pada awal kemerdekaan; manusia diciptakan sama dan setara. Kodrat aslinya adalah kebebasan menentukan diri dan membuat pilihan-pilihan sesuai dengan martabatnya. Manusia jangan sampai terjatuh dalam pengkotakan ras, etnis, agama, kepercayaan, budaya, dan aliran ideologinya akibat kerakusan dan kepongahannya.

Untuk menuju tahap itu, Indonesia harus berbenah diri dan berkomitmen untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dipelopori oleh para pemuda yang memiliki jiwa pembaruan dan semangat kemajuan yang lebih besar layaknya pemuda yang tergabung dalam kongres Sumpah Pemuda 1928. Mereka dapat menggunakan dua pendekatan sebagai langkah konkrit, yakni;
1.) Pendekatan pada tataran perilaku masyarakat dengan mengedepankan rekonsiliasi, pendidikan multikultural dan membangun mediasi-mediasi baru untuk meminimalisir stigmatisasi di antara berbagai komponen masyarakat, terutama stereotip yang merugikan kepentingan hidup bersama.
2.) Pendekatan regulasi dengan mempromosikan HAM kultural, mulai dari pengajuan kebijakan hingga kerja-kerja aktif mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM.
Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara modern, agama dan kepercayaan masyarakat harus ditempatkan dalam ruang publik yang adil dan setara. Tugas negara adalah mengembalikan posisi agama-agama lokal yang diwariskan adat leluhur sebagai bagian integral dari hak kebebasan beragama dan mengembalikan hak-haknya setara dengan agama- agama besar.

Sabtu, 05 Juni 2010

Sumiyati; A Wonder Woman


WAJAH Neneng mencerminkan kekesalan yang begitu besar. Ia sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi saat melihat lapak dagangan ibunya, Sumiyati, dibongkar petugas Trantib.

“Diapain orangtua saya!” teriak Neneng pada petugas Trantib

Gak seneng saya orang tua saya diginiin,” seru Neneng sambil mencengkram kerah baju salah satu petugas Trantib.

Petugas lain berusaha melerai. Neneng berontak. Ia terus merengek dan berteriak agar lapak ibunya tidak jadi dibongkar.

Sumiyati tak tega melihat anaknya. Ia takut Neneng akan ikut dibawa petugas itu karena bertindak kasar. Perempuan tua itu segera memeluk anaknya dan berusaha menenangkan emosi. “Sabar neng..sabar..” seru Sumiyati. “Udah, gak usah diperpanjang. Biar kita lihat nanti bagaimana jadinya.”

Ucapan si ibu manjur. Neneng mulai melunak, tapi masih tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Ia diam dan terduduk lemas. Sumiyati masih memeluk anaknya sambil sesekali mengelus-elus kepala anak bungsunya itu. Ia meminta bantuan Tahir, pedagang lain yang kebetulan kenal dekat dengan Sumiyati untuk mengambilkan air minum.

“Udah neng, sabar,” ucap Tahir sambil memberikan segelas air pada Neneng.

“Ini air apa pak Haji?” tanya Neneng

“Minum aja dulu biar tenang. Kalau kamu minum ntar saya kasih duit, ya!” ujar Tahir berusaha merayu agar Neneng menuruti perkataannya.

Tahir memberikan uang satu lembar seratus ribu pada Neneng. Neneng menggeleng, ia menolak dengan halus pemberian Tahir. Tahir sedikit memaksa, ia bilang pada Neneng agar mau menerimanya. “Udah, ambil aja. Ini buat kamu ma ibu mu,” seru Tahir.

Tahir sudah lama mengenal keluarga Sumiyati. Sehari-hari Sumiyati dan keluarganya biasa menumpang jualan, berdampingan dengan rumah makan milik Tahir.
Secara finansial, keluarga Tahir bisa dibilang lebih sejahtera dibanding Sumiyati. Lelaki yang biasa disapa pak Haji itu memiliki usaha rumah makan di area pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara.

Namun, nasib mereka kini sama. Akhir Mei lalu adalah batas waktu yang diberikan pihak pengelola pasar pada para pedagang yang dianggap liar agar membongkar lapaknya.

Ada lebih dari sepuluh lapak yang dibongkar oleh petugas. Keberadaan mereka dianggap ilegal karena berada di atas saluran air. Pengelola pasar yakin jika lapak-lapak ini dibiarkan terus akan mengganggu orang lain dan merusak keindahan.

***

MALAM itu Sumiyati masih terjaga. Ia duduk diatas beton pembatas dermaga, beralaskan tikar lusuh bewarna kuning bambu. Di sebelah kirinya ada sebuah nampan plastik warna putih. Nampan itu berisi bungkusan-bungkusan kopi dengan berbagai merek dan beberapa gelas plastik yang tersusun rapih serta sebuah termos merah muda.

Diantara termos dan bungkus kopi itu terselip secarik kertas putih yang terlipat rapih. “Itu suratnya,” ucap Sumiyati dengan nada lirih. Saya diizinkan membuka kertas itu. Isinya perihal pemberitahuan pembongkaran. Setiap pedagang yang lapaknya berdiri di atas saluran air harus segera membongkar lapaknya paling lambat tanggal 31 Mei 2010, begitu kira-kira isinya. Di bagian bawahnya tertulis juga nama pemberi surat; Ir. Sutaryo, Kepala Pengelola Kawasan Perikanan dan Pendaratan Ikan.

Mata perempuan tua itu sedikit berkaca-kaca. Ia kembali terkenang lapaknya yang sudah rata dengan tanah. Suasana benar-benar menjadi senyap. Untuk sejenak Sumiyati terdiam mematung.

Suami Sumiyati masih tertidur dengan posisi kepala berada di pangkuannya. Seluruh badannya diselimuti selembar sarung berwarna hijau muda. Sumiyati terlihat tenang, ia tak mau membuat suaminya terbangun. Sesekali ia menolehkan pandangannya ke sekitar berharap ada orang yang memesan kopi. Suasana sekitar dermaga tidak begitu ramai. Hanya ada lima orang pemancing yang masih sibuk menunggu hasil tangkapannya.

Sumiyati berkulit hitam. Tubuhnya kurus kecil, bermata sayu dan di sekitar hidungnya ada sedikit benjolan kecil seperti bekas luka. Umurnya sekitar 60-an tahun. Malam itu ia mengenakan kerudung putih serta jaket berbahan jins warna biru dengan sarung bermotif kotak warna merah sebagai selimutnya. “Wuuussssss...,” udara malam itu bertiup kencang. Ia mengempitkan kedua tangannya menahan dingin dan rasa kantuk.

“Mau mancing, dik?” kata Sumiati memecah suasana.

”Ah, nggak kok bu,” jawab saya.

“Di sini ramenya hari minggu,” ucapnya bercerita.

Dermaga ini memang lebih ramai dikunjungi pada akhir pekan. Letaknya yang cukup strategis memungkin orang dengan modal sedikit untuk mencari ikan atau kepiting. Ini sebuah peluang buat pedagang kecil seperti Sumiyati. Pengunjung biasa memesan kopi padanya sebagai teman memancing.

Lokasi dermaga ini berada paling ujung di sekitar area pasar ikan. Jaraknya dari pintu gerbang sekitar 300 meter. Tempat ini seperti tak pernah mati. Dari pagi sampai ketemu pagi selalu saja ada aktivitas para pedagang ikan atau nelayan yang sedang mengangkut hasil tangkapannya.

Di dekat tempat Sumiyati dan saya duduk, tergeletak seperangkat alat pancing sederhana. Alat itu kepunyaan Slamet, suami Sumiyati. Ia baru saja memancing ikan disitu. “Cuma dapet kepiting. Kalau airnya lagi tinggi bisa dapet lebih banyak,” ujar Sumiyati. Sejak kehilangan lapaknya, kini Sumiyati dan suaminya harus memutar otak agar penghasilan mereka tidak berkurang. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memancing.

Jika beruntung dalam sekali pancing mereka bisa mendapatkan ikan, kepiting dan rajungan sekaligus. Hasil tangkapan ini mereka jual dalam keadaan sudah matang dan siap disantap.

Sumiyati dan suaminya berjualan sampai pagi. Setelah Subuh mereka baru memutuskan istirahat. Mereka tidak memiliki tempat tinggal. “Dulu saya biasa tidur di lapak, sebelum dibongkar,” kenangnya. Setelah pembongkaran, mereka memutuskan untuk membeli gerobak seharga Rp.50.000,-. Sumiyati keberatan bila harus mengontrak rumah karena harga sewanya bisa mencapai Rp.200.000,- per tahun. Selain itu ia tidak begitu yakin dengan keamanan kontrakan itu karena bangunannya didirikan di atas laut. “Saya takut roboh,” ucapnya singkat.

Sebetulnya, Neneng, putri bungsunya sudah sering mengajak ibunya untuk ikut tinggal bersama di daerah Muara Baru, tapi Sumiyati selalu menolak. Ia tidak ingin terlalu tergantung dengan anak dan menantunya. Neneng merupakan anak Sumiyati dari suami pertama. Dari perkawinannya itu ia memiliki enam anak, tapi hanya Neneng yang masih hidup. “Tiga orang pertama keguguran, dua orang berikutnya meninggal muda, dan sekarang tinggal satu,” ujarnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Pengunjung yang sedang memancing tadi mulai berkurang sedikit demi sedikit. Udara malam yang begitu dingin sepertinya membuat mereka enggan berlama-lama, tapi suami istri itu seperti sudah terbiasa. Slamet masih terlelap dalam tidurnya walau sesekali ia terbangun karena batuk yang luar biasa. “Hukk..hukkk..hukkk,” suara batuk itu terdengar agak berat.

Sumiyati mengelus-elus kepala suaminya. “Kok, nggak istirahat aja, bu?” tanya saya. “Iya..”jawabnya singkat. Sumiyati enggan beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin menunggu pelanggan yang lewat meskipun kemungkinannya kecil. Ia seakan tak mau menyerah. “Ini belum pagi, dik. Saya masih kuat kok,” ucap Sumiyati sambil tesenyum.

Minggu, 23 Mei 2010

Rangkaian 889


LANGKAH kami semakin cepat. Bukan sekedar berjalan, tapi sudah setengah berlari. Stasiun Cibitung sudah di depan mata. Saya sedikit lega karena tanda-tanda kereta sudah lewat belum kelihatan. Beberapa orang yang saya yakini kalau itu calon penumpang masih terlihat duduk santai sambil menikmati segelas kopi.

“Ini duitnya,” seru Ayah saya sambil menyerahkan uang pecahan lima ribu pada saya. “Wis, nganggo iki wae, nggo pecahan ku,” balas Ibu saya sambil menunjukkan uang yang nominalnya lebih besar.

Saya menggeleng. Memberikan sinyal pada mereka berdua kalau saya sudah memegang uang untuk beli karcis. Mereka diam sambil kembali memasukan uangnya ke kantong. “Jangan lupa, tanyakan sudah sampai mana keretanya,” seru Ibu setengah berteriak.

Penumpang kereta biasa menanyakan hal ini pada penjual karcis. Bagi konsumen, informasi ini penting agar dapat bersiap-siap sebelum kereta datang atau sekedar memberi informasi pada teman yang belum sampai di stasiun.

“Sudah sampai mana, mas?” tanya saya sambil menyerahkan uang.

“Cikarang,” jawab petugas itu singkat.

Jarak stasiun Cikarang dan Cibitung cuma selisih satu. “Itu berarti kereta sudah mau sampai,” ujar saya dalam hati.

Stasiun Cibitung sebetulnya belum layak disebut stasiun. Tempatnya kecil. Gerbang utama saja tidak ada. Di tempat ini hanya ada satu petugas stasiun yang merangkap sebagai penjual loket. Peron stasiunnya bahkan lebih mirip dengan trotoar.

Panjangnya sekitar 50 m² terbagi atas dua bagian, di sebelah kiri dan kanan. Peron sebelah kiri biasanya digunakan untuk pijakan penumpang kereta dari arah Cikampek menuju Jakarta. Sedangkan peron sebelah kanan sebaliknya.

Namun, sering kali penumpang tidak mendapatkan peron. Sebab panjang rangkaian kereta melebihi panjang peron. Akibatnya beberapa orang sering kelihatan kesulitan saat naik atau turun dari kereta. Jarak antara permukaan tanah yang belum dibangun peron dengan bibir pintu bisa mencapai satu meter.

Buat penumpang wanita hal ini menyulitkan. Makanya, banyak dari mereka yang memilih naik atau turun lewat peron dan membuat antrian yang agak panjang. Beberapa penumpang yang kurang “gesit” sering kali terpaksa harus ketinggalan kereta. Mereka kalah cepat karena kereta hanya berhenti setengah menit.

Paling sial kalau sedang turun hujan. Penumpang kereta harus kerepotan mencari tempat berteduh. Di stasiun ini tidak ada kanopi yang tersedia seperti di stasiun-stasiun lain. Namun, kami cukup beruntung karena di pinggiran stasiun berdiri lapak-lapak pedagang.

Lapak mereka multifungsi. Sebagai tempat berteduh dan tempat membeli makan untuk sarapan ala kadarnya. Rata-rata penjual disini menjual makanan ringan dan tradisional. Harganya pun cukup terjangkau.

Saya pun menyempatkan sarapan. Segelas teh hangat dengan dua kue risoles sudah cukup “mengganjel” perut saya yang memang belum sempat terisi.

Baru saja saya menghabiskan satu kue tiba-tiba “sinyal” tanda kereta tiba mulai muncul. Beberapa pedagang buah mulai meletakkan dagangannya di pinggiran rel. Hal ini mereka lakukan agar lebih mudah mengangkat barang dagangannya ke atas gerbong. Pedagang inilah yang menjadi sinyal buat penumpang lainnya. Jika mereka sudah siap itu artinya kereta akan segera datang.

“Tuunn...tuuunnn..tuuunn....” suara kereta mulai terdengar.
‘Tuunn..tuuuunnnn..” suara itu makin keras.

“Jek...jek......jeeekkk....jek....” Kereta itu lewat begitu saja. Ia berjalan cepat dan tidak berhenti di stasiun. Ternyata itu kereta yang salah.

“Huuuu...huuuuu,” seru para penumpang.

Kejadian seperti tadi sering terjadi. Penumpang salah mengira kalau kereta sudah datang, padahal kereta yang lewat adalah kereta lain. Biasanya kereta yang lewat lebih dulu itu yang kelasnya lebih tinggi atau yang lebih mahal tarifnya. Ini sudah jadi hal yang lumrah buat pengguna kereta, jadi tak ada yang kesal ataupun marah.

Saya kembali duduk. Kue risoles dan segelas teh yang tersisa tadi sudah dibereskan oleh pemilik warung. Penumpang lain yang sempat berdiri tadi pun sebagian kembali ke tempatnya masing-masing.

Sekitar lima menit kemudian “sinyal” kereta mulai terlihat. Kali ini sepertinya kereta benar-benar akan datang sebab petugas loket juga sudah mengumumkan kedatangan kereta lewat megaphone stasiun.

Kereta jurusan Jakarta Kota segera datang dari arah timur. Penumpang yang telah memiliki karcis harap segera bersiap-siap di peron stasiun...

Suara itu terdengar seiring datangnya kereta Rangkaian jurusan Jakarta Kota. Lokomotifnya berwarna merah sedangkan gerbongnya berwarna kuning. Panjang gerbongnya mencapai sepuluh gerbong. Itu berarti kereta hari ini cukup panjang dan ada harapan kalau kereta tidak akan terlalu sesak.

Semua kereta yang lewat dan berhenti di stasiun Cibitung adalah jenis kereta Kereta Rel Diesel (KRD). Kereta Rel Listrik atau KRL tidak bisa lewat sini sebab sambungan listrik yang menjadi sumber energinya belum dibangun.

Kereta ini datang setiap hari. Pagi hari dan sore hari menjelang malam. Kebanyakan penumpang yang naik adalah mereka yang bekerja di Jakarta namun berdomisili di sekitar Bekasi hingga Karawang.

Selain kereta Rangkaian ini, ada dua kereta lain yang juga “digemari” penumpang. Odong-odong dan juga Patas. Namanya memang unik. Penumpang keretalah yang memberikan sebutan itu. Mereka paling jago kalau dalam hal pemberian istilah kereta.

Saya pernah iseng bertanya pada teman saya yang juga pelanggan kereta, dari mana istilah Odong-odong dan Patas itu. Dia menjawab kalau Odong-odong disebut seperti itu karena jalannya lambat sekali mirip seperti odong-odong. Sedangkan kalau Patas karena kereta ini tidak berhenti di semua stasiun, jadi waktu tibanya juga lebih cepat. Selebihnya hanya untuk membedakan nama saja. Kereta yang saya naiki ini punya istilah sendiri: Rangkaian. Begitu singkat dan mudah diingat.

***

“Ciiitttt...ciiiitttt” suara rem kereta berbunyi keras.

Calon penumpang Rangkaian sudah siap di posisinya masing-masing, begitu juga saya. Kami sadar waktu kami untuk naik ke atas kereta tidak lebih dari satu menit. Saat kereta berhenti, seketika itu pula penumpang berebut untuk naik.

Beberapa penumpang terlihat sempat membantu penumpang lain yang kesulitan dengan cara mendorong ataupun menariknya masuk ke dalam gerbong. Saya agak terlambat, tapi masih sempat naik.

Ayah dan Ibu saya sudah naik lebih dulu. Tidak disangka ternyata mereka lebih gesit dari saya. Mereka berdua bisa dibilang pengguna setia kereta api. Hampir setiap hari mereka pergi dan pulang kerja naik kereta. Katanya, selain murah, naik kereta juga bebas macet dan cepat sampai.

Saya naik di gerbong nomor tiga dari belakang. Penumpangnya cukup ramai. Terpaksa saya harus rela berdiri karena tidak ada bangku kosong yang tersisa. Saya berdiri tidak jauh dari pintu. Memang sengaja, agar mudah keluar pada saat sampai nanti.

Tujuan saya stasiun Klender. Jaraknya cukup jauh, lama perjalanannya sekitar setengah jam dan berhenti di beberapa stasiun. Nah, setiap pemberhentian inilah penumpang kereta akan terus bertambah banyak. Kapasitas penumpang dalam satu gerbong sebenarnya hanya 106 orang. Namun, dalam prakteknya bisa mencapai dua kali lipatnya.

Di dalam gerbong, penumpang yang beruntung mendapatkan duduk mulai melakukan aktivitasnya. Ada yang tertidur, baca koran, mengobrol, atau bahkan main kartu. Di sebelah saya, beberapa laki-laki yang duduk berkelompok langsung mengeluarkan setumpuk kartu domino. Jumlahnya lima orang dan tampaknya sudah saling kenal. Salah satu dari mereka menggunakan koran Radar Karawang sebagai meja permainan.

Saya sekilas memerhatikan koran itu. Di headlinenya tertulis,”LONGSOR DI CIATER”. Beberapa orang yang melihat berita itu pun langsung membicarakan kejadian itu sebagai bahan obrolan mereka.

Sementara para penumpang asik dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa pedagang pun sibuk lalu-lalang menjajakan dagangannya. Situasi seperti ini lahan basah bagi pedagang. Semakin ramai, semakin besar juga dagangan mereka habis.

Pedagang-pedagang ini cukup beruntung. Nasib mereka tidak seburuk pedagang yang berjualan di KRL. Pedagang di KRL harus lebih gesit karena berhadapan dengan petugas Trantib yang melarang pedagang naik ke dalam gerbong. Katanya demi kenyamanan penumpang. Padahal penumpang sendiri tidak pernah mengeluhkan hal itu.

Bagi saya keberadaan penumpang kereta dan pedagang seperti simbiosis mutualisme. Mereka saling menguntungkan dan saling membutuhkan.

Tidak terasa perjalanan saya sudah mau sampai. Dari jendela gerbong terlihat papan stasiun bertuliskan, STASIUN BUARAN. Papannya berwarna biru dihiasi garis-garis hitam dan kuning.

Saya memerhatikan sekilas ke luar jendela. Stasiun Buaran kini agak berbeda, lebih terawat dan bersih. Dulu, diantara semua stasiun yang dilewati oleh KRD dan KRL, stasiun Buaran lah yang paling tidak terawat, hampir mirip dengan stasiun Cibitung.

Setelah stasiun Buaran pemberhentian selanjutnya adalah stasiun Kelender. Itu berarti saya harus siap-siap turun. Saya berdiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah pintu. Penumpang kereta sangat padat hingga menyulitkan saya untuk keluar. Penumpang yang mau turun juga harus gesit sebab kalau tidak bisa terbawa kereta sampai stasiun berikutnya.

“Ciiittt...ciitttt..” suara rem kereta kembali berdesit.

Kereta sudah sampai. Saya segera keluar dan melompat turun dari kereta. Beberapa penumpang lain yang juga turun mengikuti di belakang saya.

“Hupp...akhirnya sampai juga,” ujar saya dalam hati.

Kereta Rangkaian berhenti agak lama. Para petugas stasiun sedang sibuk “mengusiri” penumpang yang nekat duduk di atas gerbong. Beberapa di antara penumpang itu adalah anak-anak.

“Woi..turun kamu!! Ayo turun...barusan ada yang kesetrum..mau kamu kesetrum!” seru seorang petugas pada anak-anak itu.

Entah benar atau tidak omongan petugas itu, sekelompok anak itu akhirnya turun juga. Salah satu dari mereka agak kesulitan turun dari atas gerbong. Kelihatannya ia masih sangat muda. Umurnya sekitar delapan tahun. Ia tidak mengenakan alas kaki. Kulitnya hitam dan mengenakan baju berwarna orange dengan tulisan The Jak Mania di dadanya.

Petugas itu membantunya turun sementara beberapa penumpang yang menyaksikan kejadian itu tersenyum melihat cara anak itu turun.

“Huppp” anak itu berhasil turun.

Seketika itu pula petugas stasiun memberikan aba-aba agar kereta melanjutkan perjalanannya.
Keadaan aman. Masinis Rangkaian 889 dipersilahkan kembali berjalan...

“Tuutttt..tuutttt” suara kereta berdesis keras.

Anak kecil tadi berlari menuju kereta itu berusaha mencari pintu kereta yang masih bisa ia masuki. Ia menghilang, masuk di antara celah-celah sempit dan berlalu bersama dengan penumpang lain di dalam gerbong Rangkaian 889 itu.

Selasa, 18 Mei 2010

Rumahku Sekolahku


“Tak ada sekolah, Rumbel pun jadi”

Masuk ke ruang kelas Rumah Belajar (Rumbel) Cilincing bagaikan berkunjung ke rumah pribadi. Maklum, ruang itu memang tidak seperti ruang kelas pada umumnya. Tidak ada meja. Tidak ada kursi. Hanya ada sebuah whiteboard portable yang difungsikan untuk menulis dan sebagai sekat bila ruangan ingin dibagi menjadi dua.

Ruang kelas itu merupakan salah satu bagian dari gedung rumah belajar. Gedungnya berbentuk rumah. Enam puluh kilometer persegi kira-kira luasnya. Dan dibangun di tanah milik PT. Pelindo II, sebuah perusahaan pelabuhan yang beberapa waktu lalu terlibat perselisihan dengan warga Koja, Jakarta Utara.

Di lokasi ini sudah dibangun banyak rumah. Rata-rata pemiliknya adalah pegawai Pelindo II. Jalan menuju Rumbel bagi saya mudah diingat. Letaknya strategis karena berada paling ujung dari arah pintu gerbang utama.

Cat temboknya berwarna krem sedangkan pagarnya berwarna hijau tua. Tepat di depan pagar terpasang spanduk berukuran 1x2 meter yang bergambar foto-foto kegiatan. Di spanduk itu tertulis, “Rumah Belajar Cilincing JICT” dengan background biru tua.

Untuk ukuran komunitas belajar, ruangan itu termasuk luas. Apalagi jumlah peserta rumbel tidak terlalu banyak, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh lima orang.
Selama jam pelajaran, semua peserta Rumbel berkumpul di ruangan ini dan duduk di lantai sambil mengikuti materi yang ada. Setelah selesai, ruangan ini berubah fungsi menjadi ruang tamu, ruang keluarga, atau bahkan ruang tidur.

“Jam belajar di sini cuma dari jam sembilan sampai jam dua belas siang. Habis itu ya bebas mereka mau ngapain,” ujar Endra Prihandi.

Endra adalah salah satu pendamping rumbel. Badannya kurus, kulitnya hitam, berambut gondrong dan sedikit berkumis. Dari perawakannya terlihat seperti masih muda. Ia keberatan menjawab ketika ditanya berapa usianya, tapi mengakui bahwa ia telah berkeluarga dan memiliki dua anak.

Ruang kelas itu seperti dibuat senyaman mungkin, jauh dari kesan sekolah. Saya bahkan tak melihat ada foto pasangan Presiden yang biasanya terpampang pada dinding kelas di sekolah-sekolah umum.

Hanya ada poster propaganda dengan tema pendidikan atau pamflet yang berisi aturan dan himbauan.

Pamflet dan poster itu tersebar di beberapa sudut ruangan. Ada yang di ruang komputer, ruang musik, bahkan sampai ada yang memasangnya di kamar mandi. Isinya macam-macam, dari mulai larangan merokok sampai pada ajakan untuk tidak lupa shalat.

Paling menarik perhatian adalah pamflet yang berada di depan teras rumah. Isinya bertuliskan kalimat pendek dengan huruf kapital; BEBAS MELAKUKAN APAPUN ASAL TIDAK MENGANGGU KEBEBASAN ORANG LAIN.

“Emang sengaja ditaruh di situ, bang!” ujar Alex.

Alex merupakan salah satu peserta Rumbel. Badannya tegap, kulitnya hitam, rambutnya pendek dengan gaya mohawk. Tampaknya ia tahu betul watak anak-anak Rumbel. Alex termasuk siswa senior di Rumbel ini. Ia mengatakan, tulisan itu bisa mengingatkan setiap peserta dan penghuni Rumbel untuk dapat menjaga sikap.

Endra mengamini apa yang dikatakan Alex. Sebelum dibangun Rumbel, anak-anak di sini menganggur karena putus sekolah. Untuk mengisi waktu, mereka biasa bekerja serabutan di pelabuhan. Sekedar mencari penghasilan tambahan.

“Background seperti itulah yang membuat kami agak kesulitan waktu pertama kali datang. Lihat tampang mereka saja kami sudah jiper duluan apalagi harus ngajar,” kenang Endra sambil tersenyum.

Endra yakin kalimat ajaib di pamflet itu cukup ampuh. Menurut pengakuannya, sampai sekarang tidak pernah ada kasus pelanggaran berat terjadi disini.

“Mereka emang agak liar. Tapi saya berani jamin selama mereka di sini mereka akan jadi anak yang jujur. Bahkan, HP dan Laptop yang berserakan dilantai pun tak berani mereka sentuh.”

Udara panas Cilincing siang itu begitu menyengat. Saya berlindung di bawah teras Rumbel sembari menikmati kopi buatan Alex. Atap teras membuat saya merasa lebih nyaman. Dalam hati saya berujar, Rumbel ini selakyaknya atap teras itu, melindungi dan memayungi mimpi-mimpi peserta di dalamnya agar tak kering dan menguap dimakan panasnya matahari Pelabuhan Priok

Sabtu, 03 April 2010

Sacrifice

LABA-LABA betina itu boleh bersukaria. Sebab telur-telur yang selama ini ia buahi hampir mencapai batas waktu untuk menetas. Itu artinya sebentar lagi ia akan mendapatkan bayi-bayinya lahir ke dunia.

Dunia baginya akan terasa lebih indah dengan kehadiran keluarga baru yang akan meramaikan kehidupannya. Perlahan tapi pasti telur-telur itu pun mulai menetes satu demi satu. Memunculkan kehidupan baru laba-laba yang begitu kecil dan tak berdaya.

Seperti seorang bayi yang baru terlahir, mereka pun menangis memanja pada sang induk. Sang induk mengerti bahwa mereka lapar. Sudah menjadi kodrat alam, untuk mengisi energi agar tetap hidup Laba-laba harus mencari makan.

Sang induk bergegas pergi meninggalkan bayi-bayinya. Ia berkata pada anaknya untuk bersabar barang sebentar sebab ibu pasti akan segera pulang untuk memberi kalian makan.

Sungguh malang nasib induk Laba-laba. Sudah seharian mencari mangsa tapi tak kunjung pula ia dapat apa yang dicari. Dalam hatinya ia merasa bingung, apa yang harus kuberikan pada anak-anak ku nanti. Bila tidak segera cepat bayi Laba-laba itu bisa mati.

Induk Laba-laba akhirnya memutuskan untuk pulang ke sarang. Ia ingin memastikan bahwa anak-anaknya akan baik-baik saja. Tak ada yang bisa dilakukan sang induk, ia merasa kasihan melihat anak-anaknya terus menangis meminta makan pada ibunya.

Tidak ada pilihan lain. Seharian ini ia gagal mencarikan makanan, ia tidak bisa membiarkan anak-anaknya mati kelaparan hanya karena ia gagal. Ia pun memilih untuk mengurbankan dirinya sendiri. Ia membunuh dirinya dan menjadikan tubuhnya sebagai santapan bagi anak-anaknya. Baginya, kehidupan anak-anaknya lebih penting dibanding apapun, termasuk dirinya sendiri.

***

LEBIH dari dua ribu tahun yang lalu, seorang tukang kayu dari Nazaret pun melakukan hal yang sama seperti induk laba-laba itu. Pada sebuah palang kayu salib ia terluka, menderita, dan mati.

Bagi-Nya mati berarti memberi kehidupan baru untuk manusia yang dipenuhi dengan dosa. Ia mati dengan dengan menanggung dosa yang tidak Ia lakukan, tapi hal itulah yang paling penting bagi-Nya. Untuk itulah Ia dilahirkan ke dunia.

Kematian tidak menghancurkan-Nya karena pada akhirnya Ia pun bangkit.

Bagi saya, inti dari kehidupan ini adalah pengurbanan. Setiap pengurbanan akan menghasilkan sebuah tatanan hidup yang baru bagi pihak yang lain. Itu mengapa induk Laba-laba dan tukang kayu dari Nazaret rela mengurbankan apa yang mereka miliki (kehidupan) demi kelangsungan hidup orang lain.

Semoga pengurbanan si tukang kayu dua ribu tahun yang lalu tidak menjadi sia-sia hanya karena manusia selalu enggan menjadi kurban buat orang lain. Apakah sekarang kita bersedia menjadi roti yang terpecah-pecah bagi sesama manusia yang membutuhkan seperti yang dilakukan si tukang kayu dari Nazaret dua ribu tahun yang lalu?

Selamat Paskah 2010. Mari Bekerja Sama Melawan Kemiskinan

Sabtu, 17 Oktober 2009

Menyusun (Ulang) Mozaik Indonesia

“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”


Itulah penggalan salah satu lagu nasional karya R Suharjo. Terakhir kali saya mendengarnya pada perayaan HUT Kemerdekaan RI yang lalu. Setiap tahun, bila saya menyaksikan upacara bendera di televisi, lagu itu selalu dinyanyikan bersama dengan lagu nasional lainnya.

Sewaktu masih SD, seorang guru pernah mengatakan pada saya bahwa lagu itu menjadi salah satu simbol betapa besar dan megahnya negeri ini. “Indonesia negeri yang kaya, kaya akan suku, budaya, agama, serta sumber daya alamnya tapi tetap menjadi satu,” begitu kata si guru.

Saya berpikir, betapa hebatnya negeri ini. Sebab bukan perkara yang mudah, menyatukan ribuan pulau yang berisi ratusan budaya menjadi satu kesatuan dalam sebuah negara. Bahkan Ibnu Choldun, seorang Filusuf Islam, pernah mengatakan, semakin tinggi tingkat pluralitas suatu bangsa, semakin tinggi pula resiko perpecahannya. Begitulah Indonesia, bangsa majemuk terbesar di dunia namun rawan perpecahan. Bukan hanya sekedar etnik yang jumlahnya mencapai ratusan suku, tetapi juga agama dan ras.

Namun nyatanya Indonesia mampu bertahan, bahkan setelah enam puluh empat tahun berdiri. Kebanggaan sebagai bangsa yang majemuk dahulu selalu dielu-elukan oleh pemerintah dan kalangan sipil lainnya. Namun mengapa seiring perkembangan zaman kebanggaan itu kini seakan memudar dan mulai menghilang.

Sudah banyak peristiwa yang menunjukkan lunturnya kebanggaan akan keragaman itu, seperti konflik antar masyarakat yang berbeda pandangan, baik dalam skala besar ataupun kecil. Parahnya puncak konflik ini selalu berakhir pada konflik fisik yang pada akhirnya menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebut saja konflik antar suku Madura dan Dayak yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Peristiwa ini merupakan bukti bahwa di Indonesia, sudah tidak lagi rasa saling menghargai dan menghormati antar suku.

Atau yang tidak kalah mengerikan, konflik Ambon dan Poso. Konflik yang sebenarnya dilatarbelakangi masalah politik ini pada akhirnya malah menarik isu agama. Masyarakat beragama Kristen dan Islam yang sebelumnya hidup berdamai tiba-tiba berubah seperti binatang. Setahu saya, kedua agama ini sama-sama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, namun mengapa umatnya tega untuk saling membunuh.

Konflik dalam skala yang lebih kecil juga sering terjadi. Biasanya permasalahan yang memicu adalah sentimen keagamaan dan sentimen sosial. Di Jakarta, pada pertengahan tahun 2001 pernah terjadi pembubaran jemaat Kristen yang sedang beribadah oleh sekelompok masyarakat yang merasa terancam akan isu Kristenisasi. Atau kasus yang paling dekat adalah pembubaran kelompok Ahmadiyah dan Lia Eden yang dianggap sebagai aliran sesat. Terlepas dari sesat atau tidak, pelarangan untuk menjalankan ibadah berarti melanggar ketentuan UUD 45 pasal 29 yang mengatakan “Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu”.

Konflik antar kampung juga sering terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Hanya kerena masalah sepele namun berujung pada tauran massal, seperti yang belum lama terjadi di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Semakin lama, konflik-konflik ini makin menjurus pada perpecahan bangsa. Indonesia terancam mati muda.

Terkadang saya berpikir, mengapa semua kejadian ini terjadi justru saat Indonesia memasuki era Reformasi setelah puluhan tahun terkekang otoritarian negara. Apa sebenarnya selama ini kebanggaan itu hanya bersifat semu atau bahkan tidak ada.

Benedict Anderson, seorang Indonesiais, pernah menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi berbagai unsur atau kelompok masyarakat dan dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Praksis, saat kekuatan otoriter itu melemah, masyarakat daerah mulai membangun kekuatan dari dalam. Potensi konflik membesar ketika masyarakat daerah frustasi dan kecewa akan kebijakan pemerintah pusat yang tidak pernah memerhatikan kesejahteraan daerah. Masyarakat daerah yang selama ini merasa tertinggal mulai bangkit melawan. Jika sudah begini konflik akan berubah menjadi konflik vertikal, yakni antara masyarakat dengan negara.

Di Indonesia, klimaksnya terjadi ketika Aceh, Papua, dan beberapa daerah lain ramai-ramai ingin memisahkan diri. Walau masih bisa mempertahkan daerah tersebut, namun Indonesia harus rela kehilangan Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi negara yang berdaulat.

Mei 2009 yang lalu saya sempat menghadiri acara simposium pers mahasiswa tingkat nasional di UGM, Yogyakarta. Di sana saya sempat berkenalan dengan seorang teman dari Universitas Riau. Dalam sebuah sesi diskusi, saya tersentak ketika mendengar cerita bahwa sekretariatnya pernah menjadi tempat perumusan deklarasi Riau Merdeka. Para perumus itu merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat dan berencana untuk merdeka.

Pengalaman tadi seakan menunjukkan betapa bangsa ini semakin jauh dari apa yang disebut kedamaian dan ketentraman. Pada masa orde baru berkuasa, kedamaian yang terjadi hanya klise karena sistem pemerintahan yang dipakai adalah sentralistik. Sentralistik hanya akan menciptakan suatu sistem pemerintahan diktatorial, yaitu saat aset dan kekayaan potensial daerah dikuasai dan diperuntukkan bagi kepentingan pusat. Semboyan kesatuan dan persatuan hanyalah kedok yang menyembunyikan ketamakan untuk mengekploitasi sumber daya alam daerah.

Sistem ini terlalu menyeragamkan perbedaan yang ada. Setiap perbedaan tidak diberi keleluasaan untuk menampilkan diri secara wajar dan otonom. Perbedaan malah berpeluang untuk ditafsir sebagai hal yang dapat membahayakan stabilitas kepentingan negara.

Wajar bila banyak daerah yang merasa tidak puas dan frustasi terhadap pemerintah pusat. Di saat yang bersamaan identitas kedaerahan yang sedang meningkat tidak dilandasi pemahaman terhadap kelompok lain, jadi ketika ada pihak lain yang memprovokasi, potensi pecahnya konflik akan semakin membesar.

Multikulturalisme dan Kemandirian Daerah

Perlu usaha yang penuh serta komitmen yang kuat bila ingin menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal yang pertama adalah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan multikulturalisme.

Integrasi tidak sebatas sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan. Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar.

Konsekuensinya ialah menempatkan manusia sebagai subyek. Masyarakat diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Akan tetapi, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antar unsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak terjadi primordialisme baru.

Selain itu perlu juga memberikan otonomi khusus pada daerah agar tingkat kesejahteraan mereka dapat meningkat. Hal ini sudah dilakukan saat pemerintah orde Reformasi berkuasa, namun hingga hari ini masih banyak daerah tertinggal yang belum mencicipi manisnya hasil pembangunan.

Kebijakan otonomi yang diberikan pada prakteknya hanya sebatas pada penyederhanaan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah. Namun untuk kebijakan paling mendasar yakni pengelolaan sumber daya alam, negara masih terlihat berat sebelah dan belum berpihak pada daerah. Jutru negara lebih cenderung berpihak pada modal asing yang akhirnya melegalkan kapitalisme hingga mengurangi kesejahteraan daerah.

Contoh paling konkrit adalah Papua. Provinsi paling Timur Indonesia itu hingga hari ini masih tergolong daerah tertinggal. Padahal di tanah ini terdapat tambang emas terbesar di dunia yang sayangnya dikelola dan dinikmati oleh negara asing.

Pendidikan Dialogis

Semangat saling menghormati antarkelompok dengan kelompok lain pun perlu mendapatkan praksis ketat. Ini dapat dilakukan lewat pendidikan karena pendidikan merupakan jalan paling tepat untuk membangun bangsa ini. Pertanyaannya, bagaimana dapat mengorientasikan peran pendidikan agar mampu melahirkan manusia-manusia yang menghargai perbedaan dan berdiri kokoh di atas prinsip dasar multikulturalisme? Untuk menuju ke arah itu terlebih dahulu pemerintah harus memeratakan askes pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat dengan mengupayakan pendidikan gratis. Setelah berhasil barulah mulai merubah sistem pendidikan menjadi lebih baik lagi.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dialogis. Dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, dialog menjadi pijakan inti dari sebuah kemajuan dalam perkembangan peradaban manusia. Dialog merupakan awal dari bangkitnya kesadaran untuk saling mengenal antara satu golongan dengan golongan lain agar terjadi transformasi ide, gagasan, dan pemikiran.

Hal ini kemudian dapat melahirkan satu bangunan hidup yang berbalutkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan antikemanusiaan. Pola dialog secara gradual akan menghilangkan dikotomi di beberapa pihak yang terlibat dalam dialog tersebut.

Dalam dialog, anak didik juga diajak untuk berpikir kritis dan transformatif ketika melihat sebuah realitas. Hal itu penting bila diimplemintasikan dalam dunia pendidikan sebab model seperti ini akan menumbuhkan sikap yang selalu meragukan dan mempertanyakan realitas yang ada di depannya.

Ketika terjadi persoalan tertentu, maka anak didik akan menaruh rasa curiga terhadap sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya persoalan tersebut. Mereka akan menganalisa dan mencari jalan keluar untuk memecahkan persoalan itu.

Sistem pendidikan semacam ini akan mengganti sistem pendidikan konvesional yang telah lama diterapkan. Sehingga akan menghindarkan anak didik dari upaya penyeragaman yang dapat menghancurkan semangat keberagaman.

Kedua cara yang telah dipaparkan di atas sangat penting untuk dilaksanakan secepatnya. Hal tersebut merupakan persoalan yang krusial dan butuh peran serta semua lapisan masyarakat, khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Jika ini dilakukan, kebanggaan akan keragaman di Indonesia bagaikan reinkarnasi dan bisa hidup kembali dari kematiannnya.

Daftar Pustaka

Yamin, Mohamad, Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Ar-ruzzmedia. 2009

Damai untuk Perdamaian, Jakarta: Kompas Gramedia. 2006

Harsono, Andreas, “Sebuah Kuburan, Sebuah Nama”, http//andreasharsono.blogspot.com

Soro, Johanes, “Federalisme Bagi Indonesia, Masih Pantaskah”, http://my.opera.com

Riyanto, Geger, “ Negeri Terberi atau Produk Sendiri”, http://paramadina.wordpress.com

Basuki, Sunaryo, “Republik Pecah Belah”, http://paramadina.wordpress.com

Senin, 07 September 2009

Transparansi dan Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat

Transparansi Setengah Hati

Banyaknya LSM yang tumbuh ditengah masyarakat merupakan salah satu gejala tumbuhnya demokrasi pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru. Namun di sisi lain banyak LSM masih tertutup mengenai trasnparansi keuangan di samping problema mengenai independensi LSM yang nota bene masih menerima sokongan dana dari pihak asing.

Hingga hari ini LSM masih mengklaim dirinya berdiri di atas kepentingan masyarakat khususnya masyarakat bawah. Memang tidak bisa dipungkiri, banyak program-program LSM yang sifatnya pemberdayaan dan advokasi terhadap masyarakat. Sebut saja Bina Desa dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang acuan kerjanya cendurung pada program pemberdayaan masyarakat atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang lebih kepada bidang advokasi. Dan masih banyak lagi LSM yang tersebar di Indonesia baik yang sifatnya nasional ataupun regional.

LSM memang sudah menjadi salah satu pilar demokrasi di Indonesia selain pers media dan tiga lembaga tinggi negara lainnya. Namun seiring perkembangan zaman, LSM belakangan ini mulai dipertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya sebab dana yang dikelola dari suatu lembaga donor bisa mencapai milyaran jumlahnya namun efektivitas kerja mereka masih belum maksimal. Secara hukum, LSM tidak wajib melaporkan kegiatan dan uang yang dikelolanya kepada publik. Sebab, uang LSM berasal dari lembaga donor (funding agencies), terutama lembaga donor asing. Berbeda dengan perseroan terbatas-terbuka (PT) serta partai politik yang mengelola uang publik.

Selama ini LSM di Indonesia hampir selalu berbadan hukum yayasan. Sesuai dengan ketentuan UU No.16 Tahun 2001 dan amandemen UU No 28 Tahun 2004, yayasan harus diaudit oleh akuntan publik untuk keperluan perpajakan maka LSM hanya wajib lapor ke kantor pajak, bukan media. Tapi seharusnya sebagai lembaga yang mengklaim diri transparan dan terbuka LSM mesti mengumumkan laporan keuangannya juga kepada publik supaya tidak terjadi salah persepsi di masyarakat.

Meskipun pada kenyataannya sudah ada beberapa LSM yang mulai membuka kepada publik mengenai keuangan mereka, baik dalam bentuk iklan di media ataupun lewat situs-situs yang mereka miliki. Sosiolog Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, mengatakan bahwa yang harus dikritisi dari LSM adalah mengenai transparansi keuangan mereka, harus ada mekanisme kontrol dari segi keuangan bukan dari segi ide karena LSM yang baik adalah LSM yang mau mengumumkan hasil auditnya.

Sementara itu, Agam Faturachman, mantan Kordinator Divisi Investigasi ICW, menilai

bentuk organisasi LSM hampir mirip dengan perusahaan yang memiliki stakeholder yakni negara, pemerintah, karyawan, pendiri, pengurus, dan masyarakat. Jadi untuk pelaporan keuangan idealnya mereka juga menyampaikan laporan secara berkala pada stakeholder tersebut. Namun yang jadi masalah LSM hanya menyampaikan kepada dewan pendiri dan dewan pengawas dan ke donor saja. “Ke masyarakat juga jarang dan tidak selengkap dewan pendiri dan pengawas, paling hanya memasang di website. Kepada stafnya juga ditutupi, mereka harus terbuka soal gaji dan honor yang layak jangan sampai di bawah UMR,” ucapnya.

Di samping itu banyak kalangan LSM yang laporan keuangannya belum accountable, artinya di kalangan LSM hanya dikenal pembuatan anggaran, pencatatan aset, dan biaya pemasukan dan pengeluaran. Karena itulah banyak LSM yang tidak mengetahui nilai aset yang dimiliki, kewajiban, sumbangan yang diterima serta sisa dana akhir tahun. Padahal sudah ada standar akuntansi untuk laporan keuangan bagi lembaga nirlaba.

Untuk membentuk suatu sistem organisasi yang baik, LSM mesti membuat mekanisme yang lebih terbuka dan transparan. Manajemen yang dikelola dengan terbuka ini dapat membantu masyarakat dalam memberikan kontrol secara berkesambungan pada LSM tersebut.

Pemerintah negara kita, yang dikategorikan paling korup ketiga di dunia, masih punya mekanisme kontrol meski kinerjanya amat tidak efektif. Di LSM, hal itu tidak terjadi. Sesuai UU No 16 Tahun 2001, LSM yang hampir semua berbentuk yayasan punya badan pengurus, pengawas, pembina, dan eksekutif, dengan harapan terjadi kontrol intern. Yang terjadi, pengawas dan pembina hanya berfungsi sebagai pajangan atau terjun sebagai eksekutor hingga kontrol intern tidak terjadi, sementara kontrol ekstern memang tidak pernah ada.

Kastorius mengatakan perlu dibangunnya lembaga pengontrol bagi LSM. Menurutnya, lembaga ini di luar birokrasi negara tapi merupakan perpaduan antara tiga komponen, yakni pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat sipil. Badan ini juga dapat berfungsi untuk memantau aliran dana yang masuk ke LSM serta menantang LSM untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Sumber pendanaannya dapat dibiayai pemerintah namun bukan dibawah pemerintah supaya tidak tergantung lagi pada lembaga donor.

LSM memerlukan lembaga etik yang bersifat independen bukan dari pemerintah untuk menjaga reputasi dan membatasi kepentingan pragmatis dan opurtunitis yang selama ini banyak dialamatkan kepada LSM. Lembaga ini dapat menjadi pengontrol aktivitas LSM khususnya dalam mengontrol keuangan dan sumber pendanaan supaya tidak terjadi penyimpangan dan yang terpenting lagi sebagai pengontrol efektivitas kerja mereka.

Melepas Ketergantungan

Peliknya masalah pada LSM yang selalu terulang adalah sifat independensi khususnya dalam hal kinerja dan pendanaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak LSM khususnya LSM di Indonesia yang menerima dana dari pihak asing. Menurut data dari Departemen Dalam Negeri, hingga saat ini jumlah LSM yang menerima dana asing mencapai 90 %. Dari data ini masyarakat tentunya akan bertanya kepada siapa sesungguhnya LSM bekerja.

Puncak dari banyaknya bantuan asing yang masuk ke Indonesia melalui LSM terjadi pada saat krisis ekonomi melanda dan menjelang pemilu 1999. Lalu bertambah banyak ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh dan sekitarnya. Terkait dengan independensi ini, beberapa pengamat mengatakan ini sebagai sesuatu yang relatif. Untuk konteks Indonesia posisinya sangat kompleks tidak seperti di luar negeri yang kesadaran berpolitiknya sangat tinggi sehingga organisasi masyarakat menjadi organ yang efektif dan terpercaya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.

Irsyad Zamjani, aktivis Centre of Asean Studi (CENAS), mengatakan walau sedikit tentunya ada pengaruh dari lembaga asing yang memberikan donor kepada LSM yang mereka sumbang. “Bagaimanapun orang kalau memberi uang tidak sekedar memberi, pasti ada agenda-agenda yang mereka tentukan. Namun bagaimana LSM menyiasati persepsi itu. Itu kan persepsi dari masyarakat bahwa NGO itu agen asing,” jelasnya. Persoalan independen dan tidak independen menjadi kompleks, tidak sesederhana itu dipersoalkan. Ada pihak yang memburu dana asing atau mendirikan lembaga untuk memperoleh dana asing. Bagaimanapun juga itu lahir dari persoalan kultur, kultur masyarakat kita dalam pembangunan LSM itu lebih rumit daripada yang kita bayangkan. LSM di Indonesia tidak seperti di luar negeri yang memliki konstituen yang setiap saat memberi iuran dan mereka bisa relatif independen

Tapi ada beberapa institusi yang tetap konsen pada gerakan social serta isu anti globalisasi dan anti kapitalisme walaupun masih bergantung pada pendonor. Institusi seperti itu biasanya lebih selektif dalam memilih dan memilah donor. Seperti Walhi yang selama ini yang tidak mau menerima donor dari pemerintah AS atau tidak mau menerima donor dari perusahaan yang memiliki track record pencemaran lingkungan.

LSM-LSM tersebut mengklaim bahwa selama ini di dalam tubuh organisasinya tidak ada intervensi dari pihak pendonor. Mereka hanya bekerja sebatas rekan kerja dalam suatu program yang mereka tawarkan. Executive Director International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Donatus K Marut, mengakui selama ini banyak lembaga donor yang menawarkan bantuan pada lembaga yang ia pimpin. Ia menggap ini sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipermasalahkan. Menurutnya, semua bantuan yang berasal dari luar negeri baik dalam bentuk hibah atau bukan sudah menjadi hak warga negara Indonesia. Sebab ini merupakan hak yang harus dikembalikan oleh negara-negara asing tersebut saat mereka merampasnya dari Indonesia pada masa penjajahan dulu.

Senada dengan Donatus, Kastorius menggap intervensi asing di dalam tubuh LSM itu tidak akan ada selama LSM yang bersangkutan mampu menjaga idealisme nya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil. Ini bagian dari pola ekonomi makro, ada kesepakatan dari negara-negara G7 bahwa 0,7 % dana mereka harus disalurkan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dana ini untuk mengatasi ekses pembangunan setiap tahunnya. LSM mengambil alih program-program pembangunan ini pada dekakde 90 an dari pemerintah Indonesia untuk menghindari praktik korupsi yang sering muncul di lembaga pemerintahan.

Adanya ketergantungan pada pihak asing ini terjadi juga karena adanya trauma psikologis terhadap otoriterian negara. Pada masa Orde Baru masih berkuasa, para aktivis LSM sangat keras dalam mengkritik pemerintahan maka dari itu mereka tidak ingin mendapatkan sokongan dana dari pemerintah dan lebih memilih donor asing. Namun pada masa Reformasi, mulai banyak LSM yang mendapatkan dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga milik pemerintah. Salah satunya adalah PPPI. LSM yang bergerak dalam pengembangan kepemudaan ini sering mengadakan kerjasama dan mendapatkan dana dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga. “Kita masih mendapatkan dana dari pemerintah yang jumlah lumayan besar. Jadi sayang kalau tidak dimanfaatkan,” tukas seorang aktivis PPPI

Masuk akal jika keraguan akan independensi selalu diarahkan pada LSM. Sebab di Indonesia pada tahun 2000an kalangan birokrasi dan legislatif pun banyak yang mendirikan lembaga serupa, yang biasa digelari LSM Plat Merah. LSM dengan segala bentuk dan motifnya pun hadir memenuhi hampir seluruh pelosok-pelosok negeri. LSM jenis ini menurut Kartorius hanya hadir pada saat ada proyek-proyek yang mendapatkan dana besar dan tidak jelas kinerjanya.

Independensi LSM ini sangat berhubungan erat dengan masalah keuangan dalam tubuh LSM. Permasalahan ini dapat terjawab jika LSM memiliki basis pendanaan yang bersifat mandiri, namun sayangnya di Indonesia LSM yang memiliki basis pendanaan sendiri masih terbatas jumlahnya. Salah satu LSM yang sudah mencoba untuk membangun basis pendanaan secara mandiri adalah YLBHI. LSM yang bergerak dalam bidang advokasi ini mulai tahun 1998 telah mengurangi ketergantungan terhadap lembaga donor dari luar negeri.

Agustinus Edy, Director Publication end Civil Education YLBHI, mengungkapkan bahwa lembaganya mendapatkan dukungan dari masyarakat baik secara moril mapun materil namun pada perjalanannya kita juga merancang program dan didukung oleh lembaga donor namun itu dulu karena sekarang petanya sudah berubah. Lebih lanjut lagi ia mengatakan untuk tahun ini hanya ada satu lembaga donor itu pun sudah hampir habis masa kontrak kerjanya. “Memang ada perubahan gerakan di tubuh LBH khususnya dalam hal pendanaan. Memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan capital.”

Vico.DJ