Sabtu, 05 Juni 2010

Sumiyati; A Wonder Woman


WAJAH Neneng mencerminkan kekesalan yang begitu besar. Ia sudah tidak bisa menahan kesabarannya lagi saat melihat lapak dagangan ibunya, Sumiyati, dibongkar petugas Trantib.

“Diapain orangtua saya!” teriak Neneng pada petugas Trantib

Gak seneng saya orang tua saya diginiin,” seru Neneng sambil mencengkram kerah baju salah satu petugas Trantib.

Petugas lain berusaha melerai. Neneng berontak. Ia terus merengek dan berteriak agar lapak ibunya tidak jadi dibongkar.

Sumiyati tak tega melihat anaknya. Ia takut Neneng akan ikut dibawa petugas itu karena bertindak kasar. Perempuan tua itu segera memeluk anaknya dan berusaha menenangkan emosi. “Sabar neng..sabar..” seru Sumiyati. “Udah, gak usah diperpanjang. Biar kita lihat nanti bagaimana jadinya.”

Ucapan si ibu manjur. Neneng mulai melunak, tapi masih tidak dapat menyembunyikan kesedihannya. Ia diam dan terduduk lemas. Sumiyati masih memeluk anaknya sambil sesekali mengelus-elus kepala anak bungsunya itu. Ia meminta bantuan Tahir, pedagang lain yang kebetulan kenal dekat dengan Sumiyati untuk mengambilkan air minum.

“Udah neng, sabar,” ucap Tahir sambil memberikan segelas air pada Neneng.

“Ini air apa pak Haji?” tanya Neneng

“Minum aja dulu biar tenang. Kalau kamu minum ntar saya kasih duit, ya!” ujar Tahir berusaha merayu agar Neneng menuruti perkataannya.

Tahir memberikan uang satu lembar seratus ribu pada Neneng. Neneng menggeleng, ia menolak dengan halus pemberian Tahir. Tahir sedikit memaksa, ia bilang pada Neneng agar mau menerimanya. “Udah, ambil aja. Ini buat kamu ma ibu mu,” seru Tahir.

Tahir sudah lama mengenal keluarga Sumiyati. Sehari-hari Sumiyati dan keluarganya biasa menumpang jualan, berdampingan dengan rumah makan milik Tahir.
Secara finansial, keluarga Tahir bisa dibilang lebih sejahtera dibanding Sumiyati. Lelaki yang biasa disapa pak Haji itu memiliki usaha rumah makan di area pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara.

Namun, nasib mereka kini sama. Akhir Mei lalu adalah batas waktu yang diberikan pihak pengelola pasar pada para pedagang yang dianggap liar agar membongkar lapaknya.

Ada lebih dari sepuluh lapak yang dibongkar oleh petugas. Keberadaan mereka dianggap ilegal karena berada di atas saluran air. Pengelola pasar yakin jika lapak-lapak ini dibiarkan terus akan mengganggu orang lain dan merusak keindahan.

***

MALAM itu Sumiyati masih terjaga. Ia duduk diatas beton pembatas dermaga, beralaskan tikar lusuh bewarna kuning bambu. Di sebelah kirinya ada sebuah nampan plastik warna putih. Nampan itu berisi bungkusan-bungkusan kopi dengan berbagai merek dan beberapa gelas plastik yang tersusun rapih serta sebuah termos merah muda.

Diantara termos dan bungkus kopi itu terselip secarik kertas putih yang terlipat rapih. “Itu suratnya,” ucap Sumiyati dengan nada lirih. Saya diizinkan membuka kertas itu. Isinya perihal pemberitahuan pembongkaran. Setiap pedagang yang lapaknya berdiri di atas saluran air harus segera membongkar lapaknya paling lambat tanggal 31 Mei 2010, begitu kira-kira isinya. Di bagian bawahnya tertulis juga nama pemberi surat; Ir. Sutaryo, Kepala Pengelola Kawasan Perikanan dan Pendaratan Ikan.

Mata perempuan tua itu sedikit berkaca-kaca. Ia kembali terkenang lapaknya yang sudah rata dengan tanah. Suasana benar-benar menjadi senyap. Untuk sejenak Sumiyati terdiam mematung.

Suami Sumiyati masih tertidur dengan posisi kepala berada di pangkuannya. Seluruh badannya diselimuti selembar sarung berwarna hijau muda. Sumiyati terlihat tenang, ia tak mau membuat suaminya terbangun. Sesekali ia menolehkan pandangannya ke sekitar berharap ada orang yang memesan kopi. Suasana sekitar dermaga tidak begitu ramai. Hanya ada lima orang pemancing yang masih sibuk menunggu hasil tangkapannya.

Sumiyati berkulit hitam. Tubuhnya kurus kecil, bermata sayu dan di sekitar hidungnya ada sedikit benjolan kecil seperti bekas luka. Umurnya sekitar 60-an tahun. Malam itu ia mengenakan kerudung putih serta jaket berbahan jins warna biru dengan sarung bermotif kotak warna merah sebagai selimutnya. “Wuuussssss...,” udara malam itu bertiup kencang. Ia mengempitkan kedua tangannya menahan dingin dan rasa kantuk.

“Mau mancing, dik?” kata Sumiati memecah suasana.

”Ah, nggak kok bu,” jawab saya.

“Di sini ramenya hari minggu,” ucapnya bercerita.

Dermaga ini memang lebih ramai dikunjungi pada akhir pekan. Letaknya yang cukup strategis memungkin orang dengan modal sedikit untuk mencari ikan atau kepiting. Ini sebuah peluang buat pedagang kecil seperti Sumiyati. Pengunjung biasa memesan kopi padanya sebagai teman memancing.

Lokasi dermaga ini berada paling ujung di sekitar area pasar ikan. Jaraknya dari pintu gerbang sekitar 300 meter. Tempat ini seperti tak pernah mati. Dari pagi sampai ketemu pagi selalu saja ada aktivitas para pedagang ikan atau nelayan yang sedang mengangkut hasil tangkapannya.

Di dekat tempat Sumiyati dan saya duduk, tergeletak seperangkat alat pancing sederhana. Alat itu kepunyaan Slamet, suami Sumiyati. Ia baru saja memancing ikan disitu. “Cuma dapet kepiting. Kalau airnya lagi tinggi bisa dapet lebih banyak,” ujar Sumiyati. Sejak kehilangan lapaknya, kini Sumiyati dan suaminya harus memutar otak agar penghasilan mereka tidak berkurang. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan memancing.

Jika beruntung dalam sekali pancing mereka bisa mendapatkan ikan, kepiting dan rajungan sekaligus. Hasil tangkapan ini mereka jual dalam keadaan sudah matang dan siap disantap.

Sumiyati dan suaminya berjualan sampai pagi. Setelah Subuh mereka baru memutuskan istirahat. Mereka tidak memiliki tempat tinggal. “Dulu saya biasa tidur di lapak, sebelum dibongkar,” kenangnya. Setelah pembongkaran, mereka memutuskan untuk membeli gerobak seharga Rp.50.000,-. Sumiyati keberatan bila harus mengontrak rumah karena harga sewanya bisa mencapai Rp.200.000,- per tahun. Selain itu ia tidak begitu yakin dengan keamanan kontrakan itu karena bangunannya didirikan di atas laut. “Saya takut roboh,” ucapnya singkat.

Sebetulnya, Neneng, putri bungsunya sudah sering mengajak ibunya untuk ikut tinggal bersama di daerah Muara Baru, tapi Sumiyati selalu menolak. Ia tidak ingin terlalu tergantung dengan anak dan menantunya. Neneng merupakan anak Sumiyati dari suami pertama. Dari perkawinannya itu ia memiliki enam anak, tapi hanya Neneng yang masih hidup. “Tiga orang pertama keguguran, dua orang berikutnya meninggal muda, dan sekarang tinggal satu,” ujarnya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Pengunjung yang sedang memancing tadi mulai berkurang sedikit demi sedikit. Udara malam yang begitu dingin sepertinya membuat mereka enggan berlama-lama, tapi suami istri itu seperti sudah terbiasa. Slamet masih terlelap dalam tidurnya walau sesekali ia terbangun karena batuk yang luar biasa. “Hukk..hukkk..hukkk,” suara batuk itu terdengar agak berat.

Sumiyati mengelus-elus kepala suaminya. “Kok, nggak istirahat aja, bu?” tanya saya. “Iya..”jawabnya singkat. Sumiyati enggan beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin menunggu pelanggan yang lewat meskipun kemungkinannya kecil. Ia seakan tak mau menyerah. “Ini belum pagi, dik. Saya masih kuat kok,” ucap Sumiyati sambil tesenyum.