Sabtu, 17 Oktober 2009

Menyusun (Ulang) Mozaik Indonesia

“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”


Itulah penggalan salah satu lagu nasional karya R Suharjo. Terakhir kali saya mendengarnya pada perayaan HUT Kemerdekaan RI yang lalu. Setiap tahun, bila saya menyaksikan upacara bendera di televisi, lagu itu selalu dinyanyikan bersama dengan lagu nasional lainnya.

Sewaktu masih SD, seorang guru pernah mengatakan pada saya bahwa lagu itu menjadi salah satu simbol betapa besar dan megahnya negeri ini. “Indonesia negeri yang kaya, kaya akan suku, budaya, agama, serta sumber daya alamnya tapi tetap menjadi satu,” begitu kata si guru.

Saya berpikir, betapa hebatnya negeri ini. Sebab bukan perkara yang mudah, menyatukan ribuan pulau yang berisi ratusan budaya menjadi satu kesatuan dalam sebuah negara. Bahkan Ibnu Choldun, seorang Filusuf Islam, pernah mengatakan, semakin tinggi tingkat pluralitas suatu bangsa, semakin tinggi pula resiko perpecahannya. Begitulah Indonesia, bangsa majemuk terbesar di dunia namun rawan perpecahan. Bukan hanya sekedar etnik yang jumlahnya mencapai ratusan suku, tetapi juga agama dan ras.

Namun nyatanya Indonesia mampu bertahan, bahkan setelah enam puluh empat tahun berdiri. Kebanggaan sebagai bangsa yang majemuk dahulu selalu dielu-elukan oleh pemerintah dan kalangan sipil lainnya. Namun mengapa seiring perkembangan zaman kebanggaan itu kini seakan memudar dan mulai menghilang.

Sudah banyak peristiwa yang menunjukkan lunturnya kebanggaan akan keragaman itu, seperti konflik antar masyarakat yang berbeda pandangan, baik dalam skala besar ataupun kecil. Parahnya puncak konflik ini selalu berakhir pada konflik fisik yang pada akhirnya menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebut saja konflik antar suku Madura dan Dayak yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Peristiwa ini merupakan bukti bahwa di Indonesia, sudah tidak lagi rasa saling menghargai dan menghormati antar suku.

Atau yang tidak kalah mengerikan, konflik Ambon dan Poso. Konflik yang sebenarnya dilatarbelakangi masalah politik ini pada akhirnya malah menarik isu agama. Masyarakat beragama Kristen dan Islam yang sebelumnya hidup berdamai tiba-tiba berubah seperti binatang. Setahu saya, kedua agama ini sama-sama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, namun mengapa umatnya tega untuk saling membunuh.

Konflik dalam skala yang lebih kecil juga sering terjadi. Biasanya permasalahan yang memicu adalah sentimen keagamaan dan sentimen sosial. Di Jakarta, pada pertengahan tahun 2001 pernah terjadi pembubaran jemaat Kristen yang sedang beribadah oleh sekelompok masyarakat yang merasa terancam akan isu Kristenisasi. Atau kasus yang paling dekat adalah pembubaran kelompok Ahmadiyah dan Lia Eden yang dianggap sebagai aliran sesat. Terlepas dari sesat atau tidak, pelarangan untuk menjalankan ibadah berarti melanggar ketentuan UUD 45 pasal 29 yang mengatakan “Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu”.

Konflik antar kampung juga sering terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Hanya kerena masalah sepele namun berujung pada tauran massal, seperti yang belum lama terjadi di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Semakin lama, konflik-konflik ini makin menjurus pada perpecahan bangsa. Indonesia terancam mati muda.

Terkadang saya berpikir, mengapa semua kejadian ini terjadi justru saat Indonesia memasuki era Reformasi setelah puluhan tahun terkekang otoritarian negara. Apa sebenarnya selama ini kebanggaan itu hanya bersifat semu atau bahkan tidak ada.

Benedict Anderson, seorang Indonesiais, pernah menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi berbagai unsur atau kelompok masyarakat dan dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Praksis, saat kekuatan otoriter itu melemah, masyarakat daerah mulai membangun kekuatan dari dalam. Potensi konflik membesar ketika masyarakat daerah frustasi dan kecewa akan kebijakan pemerintah pusat yang tidak pernah memerhatikan kesejahteraan daerah. Masyarakat daerah yang selama ini merasa tertinggal mulai bangkit melawan. Jika sudah begini konflik akan berubah menjadi konflik vertikal, yakni antara masyarakat dengan negara.

Di Indonesia, klimaksnya terjadi ketika Aceh, Papua, dan beberapa daerah lain ramai-ramai ingin memisahkan diri. Walau masih bisa mempertahkan daerah tersebut, namun Indonesia harus rela kehilangan Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi negara yang berdaulat.

Mei 2009 yang lalu saya sempat menghadiri acara simposium pers mahasiswa tingkat nasional di UGM, Yogyakarta. Di sana saya sempat berkenalan dengan seorang teman dari Universitas Riau. Dalam sebuah sesi diskusi, saya tersentak ketika mendengar cerita bahwa sekretariatnya pernah menjadi tempat perumusan deklarasi Riau Merdeka. Para perumus itu merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat dan berencana untuk merdeka.

Pengalaman tadi seakan menunjukkan betapa bangsa ini semakin jauh dari apa yang disebut kedamaian dan ketentraman. Pada masa orde baru berkuasa, kedamaian yang terjadi hanya klise karena sistem pemerintahan yang dipakai adalah sentralistik. Sentralistik hanya akan menciptakan suatu sistem pemerintahan diktatorial, yaitu saat aset dan kekayaan potensial daerah dikuasai dan diperuntukkan bagi kepentingan pusat. Semboyan kesatuan dan persatuan hanyalah kedok yang menyembunyikan ketamakan untuk mengekploitasi sumber daya alam daerah.

Sistem ini terlalu menyeragamkan perbedaan yang ada. Setiap perbedaan tidak diberi keleluasaan untuk menampilkan diri secara wajar dan otonom. Perbedaan malah berpeluang untuk ditafsir sebagai hal yang dapat membahayakan stabilitas kepentingan negara.

Wajar bila banyak daerah yang merasa tidak puas dan frustasi terhadap pemerintah pusat. Di saat yang bersamaan identitas kedaerahan yang sedang meningkat tidak dilandasi pemahaman terhadap kelompok lain, jadi ketika ada pihak lain yang memprovokasi, potensi pecahnya konflik akan semakin membesar.

Multikulturalisme dan Kemandirian Daerah

Perlu usaha yang penuh serta komitmen yang kuat bila ingin menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal yang pertama adalah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan multikulturalisme.

Integrasi tidak sebatas sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan. Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar.

Konsekuensinya ialah menempatkan manusia sebagai subyek. Masyarakat diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Akan tetapi, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antar unsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak terjadi primordialisme baru.

Selain itu perlu juga memberikan otonomi khusus pada daerah agar tingkat kesejahteraan mereka dapat meningkat. Hal ini sudah dilakukan saat pemerintah orde Reformasi berkuasa, namun hingga hari ini masih banyak daerah tertinggal yang belum mencicipi manisnya hasil pembangunan.

Kebijakan otonomi yang diberikan pada prakteknya hanya sebatas pada penyederhanaan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah. Namun untuk kebijakan paling mendasar yakni pengelolaan sumber daya alam, negara masih terlihat berat sebelah dan belum berpihak pada daerah. Jutru negara lebih cenderung berpihak pada modal asing yang akhirnya melegalkan kapitalisme hingga mengurangi kesejahteraan daerah.

Contoh paling konkrit adalah Papua. Provinsi paling Timur Indonesia itu hingga hari ini masih tergolong daerah tertinggal. Padahal di tanah ini terdapat tambang emas terbesar di dunia yang sayangnya dikelola dan dinikmati oleh negara asing.

Pendidikan Dialogis

Semangat saling menghormati antarkelompok dengan kelompok lain pun perlu mendapatkan praksis ketat. Ini dapat dilakukan lewat pendidikan karena pendidikan merupakan jalan paling tepat untuk membangun bangsa ini. Pertanyaannya, bagaimana dapat mengorientasikan peran pendidikan agar mampu melahirkan manusia-manusia yang menghargai perbedaan dan berdiri kokoh di atas prinsip dasar multikulturalisme? Untuk menuju ke arah itu terlebih dahulu pemerintah harus memeratakan askes pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat dengan mengupayakan pendidikan gratis. Setelah berhasil barulah mulai merubah sistem pendidikan menjadi lebih baik lagi.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dialogis. Dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, dialog menjadi pijakan inti dari sebuah kemajuan dalam perkembangan peradaban manusia. Dialog merupakan awal dari bangkitnya kesadaran untuk saling mengenal antara satu golongan dengan golongan lain agar terjadi transformasi ide, gagasan, dan pemikiran.

Hal ini kemudian dapat melahirkan satu bangunan hidup yang berbalutkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan antikemanusiaan. Pola dialog secara gradual akan menghilangkan dikotomi di beberapa pihak yang terlibat dalam dialog tersebut.

Dalam dialog, anak didik juga diajak untuk berpikir kritis dan transformatif ketika melihat sebuah realitas. Hal itu penting bila diimplemintasikan dalam dunia pendidikan sebab model seperti ini akan menumbuhkan sikap yang selalu meragukan dan mempertanyakan realitas yang ada di depannya.

Ketika terjadi persoalan tertentu, maka anak didik akan menaruh rasa curiga terhadap sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya persoalan tersebut. Mereka akan menganalisa dan mencari jalan keluar untuk memecahkan persoalan itu.

Sistem pendidikan semacam ini akan mengganti sistem pendidikan konvesional yang telah lama diterapkan. Sehingga akan menghindarkan anak didik dari upaya penyeragaman yang dapat menghancurkan semangat keberagaman.

Kedua cara yang telah dipaparkan di atas sangat penting untuk dilaksanakan secepatnya. Hal tersebut merupakan persoalan yang krusial dan butuh peran serta semua lapisan masyarakat, khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Jika ini dilakukan, kebanggaan akan keragaman di Indonesia bagaikan reinkarnasi dan bisa hidup kembali dari kematiannnya.

Daftar Pustaka

Yamin, Mohamad, Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Ar-ruzzmedia. 2009

Damai untuk Perdamaian, Jakarta: Kompas Gramedia. 2006

Harsono, Andreas, “Sebuah Kuburan, Sebuah Nama”, http//andreasharsono.blogspot.com

Soro, Johanes, “Federalisme Bagi Indonesia, Masih Pantaskah”, http://my.opera.com

Riyanto, Geger, “ Negeri Terberi atau Produk Sendiri”, http://paramadina.wordpress.com

Basuki, Sunaryo, “Republik Pecah Belah”, http://paramadina.wordpress.com

Senin, 07 September 2009

Transparansi dan Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat

Transparansi Setengah Hati

Banyaknya LSM yang tumbuh ditengah masyarakat merupakan salah satu gejala tumbuhnya demokrasi pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru. Namun di sisi lain banyak LSM masih tertutup mengenai trasnparansi keuangan di samping problema mengenai independensi LSM yang nota bene masih menerima sokongan dana dari pihak asing.

Hingga hari ini LSM masih mengklaim dirinya berdiri di atas kepentingan masyarakat khususnya masyarakat bawah. Memang tidak bisa dipungkiri, banyak program-program LSM yang sifatnya pemberdayaan dan advokasi terhadap masyarakat. Sebut saja Bina Desa dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang acuan kerjanya cendurung pada program pemberdayaan masyarakat atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang lebih kepada bidang advokasi. Dan masih banyak lagi LSM yang tersebar di Indonesia baik yang sifatnya nasional ataupun regional.

LSM memang sudah menjadi salah satu pilar demokrasi di Indonesia selain pers media dan tiga lembaga tinggi negara lainnya. Namun seiring perkembangan zaman, LSM belakangan ini mulai dipertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya sebab dana yang dikelola dari suatu lembaga donor bisa mencapai milyaran jumlahnya namun efektivitas kerja mereka masih belum maksimal. Secara hukum, LSM tidak wajib melaporkan kegiatan dan uang yang dikelolanya kepada publik. Sebab, uang LSM berasal dari lembaga donor (funding agencies), terutama lembaga donor asing. Berbeda dengan perseroan terbatas-terbuka (PT) serta partai politik yang mengelola uang publik.

Selama ini LSM di Indonesia hampir selalu berbadan hukum yayasan. Sesuai dengan ketentuan UU No.16 Tahun 2001 dan amandemen UU No 28 Tahun 2004, yayasan harus diaudit oleh akuntan publik untuk keperluan perpajakan maka LSM hanya wajib lapor ke kantor pajak, bukan media. Tapi seharusnya sebagai lembaga yang mengklaim diri transparan dan terbuka LSM mesti mengumumkan laporan keuangannya juga kepada publik supaya tidak terjadi salah persepsi di masyarakat.

Meskipun pada kenyataannya sudah ada beberapa LSM yang mulai membuka kepada publik mengenai keuangan mereka, baik dalam bentuk iklan di media ataupun lewat situs-situs yang mereka miliki. Sosiolog Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, mengatakan bahwa yang harus dikritisi dari LSM adalah mengenai transparansi keuangan mereka, harus ada mekanisme kontrol dari segi keuangan bukan dari segi ide karena LSM yang baik adalah LSM yang mau mengumumkan hasil auditnya.

Sementara itu, Agam Faturachman, mantan Kordinator Divisi Investigasi ICW, menilai

bentuk organisasi LSM hampir mirip dengan perusahaan yang memiliki stakeholder yakni negara, pemerintah, karyawan, pendiri, pengurus, dan masyarakat. Jadi untuk pelaporan keuangan idealnya mereka juga menyampaikan laporan secara berkala pada stakeholder tersebut. Namun yang jadi masalah LSM hanya menyampaikan kepada dewan pendiri dan dewan pengawas dan ke donor saja. “Ke masyarakat juga jarang dan tidak selengkap dewan pendiri dan pengawas, paling hanya memasang di website. Kepada stafnya juga ditutupi, mereka harus terbuka soal gaji dan honor yang layak jangan sampai di bawah UMR,” ucapnya.

Di samping itu banyak kalangan LSM yang laporan keuangannya belum accountable, artinya di kalangan LSM hanya dikenal pembuatan anggaran, pencatatan aset, dan biaya pemasukan dan pengeluaran. Karena itulah banyak LSM yang tidak mengetahui nilai aset yang dimiliki, kewajiban, sumbangan yang diterima serta sisa dana akhir tahun. Padahal sudah ada standar akuntansi untuk laporan keuangan bagi lembaga nirlaba.

Untuk membentuk suatu sistem organisasi yang baik, LSM mesti membuat mekanisme yang lebih terbuka dan transparan. Manajemen yang dikelola dengan terbuka ini dapat membantu masyarakat dalam memberikan kontrol secara berkesambungan pada LSM tersebut.

Pemerintah negara kita, yang dikategorikan paling korup ketiga di dunia, masih punya mekanisme kontrol meski kinerjanya amat tidak efektif. Di LSM, hal itu tidak terjadi. Sesuai UU No 16 Tahun 2001, LSM yang hampir semua berbentuk yayasan punya badan pengurus, pengawas, pembina, dan eksekutif, dengan harapan terjadi kontrol intern. Yang terjadi, pengawas dan pembina hanya berfungsi sebagai pajangan atau terjun sebagai eksekutor hingga kontrol intern tidak terjadi, sementara kontrol ekstern memang tidak pernah ada.

Kastorius mengatakan perlu dibangunnya lembaga pengontrol bagi LSM. Menurutnya, lembaga ini di luar birokrasi negara tapi merupakan perpaduan antara tiga komponen, yakni pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat sipil. Badan ini juga dapat berfungsi untuk memantau aliran dana yang masuk ke LSM serta menantang LSM untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Sumber pendanaannya dapat dibiayai pemerintah namun bukan dibawah pemerintah supaya tidak tergantung lagi pada lembaga donor.

LSM memerlukan lembaga etik yang bersifat independen bukan dari pemerintah untuk menjaga reputasi dan membatasi kepentingan pragmatis dan opurtunitis yang selama ini banyak dialamatkan kepada LSM. Lembaga ini dapat menjadi pengontrol aktivitas LSM khususnya dalam mengontrol keuangan dan sumber pendanaan supaya tidak terjadi penyimpangan dan yang terpenting lagi sebagai pengontrol efektivitas kerja mereka.

Melepas Ketergantungan

Peliknya masalah pada LSM yang selalu terulang adalah sifat independensi khususnya dalam hal kinerja dan pendanaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak LSM khususnya LSM di Indonesia yang menerima dana dari pihak asing. Menurut data dari Departemen Dalam Negeri, hingga saat ini jumlah LSM yang menerima dana asing mencapai 90 %. Dari data ini masyarakat tentunya akan bertanya kepada siapa sesungguhnya LSM bekerja.

Puncak dari banyaknya bantuan asing yang masuk ke Indonesia melalui LSM terjadi pada saat krisis ekonomi melanda dan menjelang pemilu 1999. Lalu bertambah banyak ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh dan sekitarnya. Terkait dengan independensi ini, beberapa pengamat mengatakan ini sebagai sesuatu yang relatif. Untuk konteks Indonesia posisinya sangat kompleks tidak seperti di luar negeri yang kesadaran berpolitiknya sangat tinggi sehingga organisasi masyarakat menjadi organ yang efektif dan terpercaya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.

Irsyad Zamjani, aktivis Centre of Asean Studi (CENAS), mengatakan walau sedikit tentunya ada pengaruh dari lembaga asing yang memberikan donor kepada LSM yang mereka sumbang. “Bagaimanapun orang kalau memberi uang tidak sekedar memberi, pasti ada agenda-agenda yang mereka tentukan. Namun bagaimana LSM menyiasati persepsi itu. Itu kan persepsi dari masyarakat bahwa NGO itu agen asing,” jelasnya. Persoalan independen dan tidak independen menjadi kompleks, tidak sesederhana itu dipersoalkan. Ada pihak yang memburu dana asing atau mendirikan lembaga untuk memperoleh dana asing. Bagaimanapun juga itu lahir dari persoalan kultur, kultur masyarakat kita dalam pembangunan LSM itu lebih rumit daripada yang kita bayangkan. LSM di Indonesia tidak seperti di luar negeri yang memliki konstituen yang setiap saat memberi iuran dan mereka bisa relatif independen

Tapi ada beberapa institusi yang tetap konsen pada gerakan social serta isu anti globalisasi dan anti kapitalisme walaupun masih bergantung pada pendonor. Institusi seperti itu biasanya lebih selektif dalam memilih dan memilah donor. Seperti Walhi yang selama ini yang tidak mau menerima donor dari pemerintah AS atau tidak mau menerima donor dari perusahaan yang memiliki track record pencemaran lingkungan.

LSM-LSM tersebut mengklaim bahwa selama ini di dalam tubuh organisasinya tidak ada intervensi dari pihak pendonor. Mereka hanya bekerja sebatas rekan kerja dalam suatu program yang mereka tawarkan. Executive Director International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Donatus K Marut, mengakui selama ini banyak lembaga donor yang menawarkan bantuan pada lembaga yang ia pimpin. Ia menggap ini sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipermasalahkan. Menurutnya, semua bantuan yang berasal dari luar negeri baik dalam bentuk hibah atau bukan sudah menjadi hak warga negara Indonesia. Sebab ini merupakan hak yang harus dikembalikan oleh negara-negara asing tersebut saat mereka merampasnya dari Indonesia pada masa penjajahan dulu.

Senada dengan Donatus, Kastorius menggap intervensi asing di dalam tubuh LSM itu tidak akan ada selama LSM yang bersangkutan mampu menjaga idealisme nya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil. Ini bagian dari pola ekonomi makro, ada kesepakatan dari negara-negara G7 bahwa 0,7 % dana mereka harus disalurkan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dana ini untuk mengatasi ekses pembangunan setiap tahunnya. LSM mengambil alih program-program pembangunan ini pada dekakde 90 an dari pemerintah Indonesia untuk menghindari praktik korupsi yang sering muncul di lembaga pemerintahan.

Adanya ketergantungan pada pihak asing ini terjadi juga karena adanya trauma psikologis terhadap otoriterian negara. Pada masa Orde Baru masih berkuasa, para aktivis LSM sangat keras dalam mengkritik pemerintahan maka dari itu mereka tidak ingin mendapatkan sokongan dana dari pemerintah dan lebih memilih donor asing. Namun pada masa Reformasi, mulai banyak LSM yang mendapatkan dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga milik pemerintah. Salah satunya adalah PPPI. LSM yang bergerak dalam pengembangan kepemudaan ini sering mengadakan kerjasama dan mendapatkan dana dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga. “Kita masih mendapatkan dana dari pemerintah yang jumlah lumayan besar. Jadi sayang kalau tidak dimanfaatkan,” tukas seorang aktivis PPPI

Masuk akal jika keraguan akan independensi selalu diarahkan pada LSM. Sebab di Indonesia pada tahun 2000an kalangan birokrasi dan legislatif pun banyak yang mendirikan lembaga serupa, yang biasa digelari LSM Plat Merah. LSM dengan segala bentuk dan motifnya pun hadir memenuhi hampir seluruh pelosok-pelosok negeri. LSM jenis ini menurut Kartorius hanya hadir pada saat ada proyek-proyek yang mendapatkan dana besar dan tidak jelas kinerjanya.

Independensi LSM ini sangat berhubungan erat dengan masalah keuangan dalam tubuh LSM. Permasalahan ini dapat terjawab jika LSM memiliki basis pendanaan yang bersifat mandiri, namun sayangnya di Indonesia LSM yang memiliki basis pendanaan sendiri masih terbatas jumlahnya. Salah satu LSM yang sudah mencoba untuk membangun basis pendanaan secara mandiri adalah YLBHI. LSM yang bergerak dalam bidang advokasi ini mulai tahun 1998 telah mengurangi ketergantungan terhadap lembaga donor dari luar negeri.

Agustinus Edy, Director Publication end Civil Education YLBHI, mengungkapkan bahwa lembaganya mendapatkan dukungan dari masyarakat baik secara moril mapun materil namun pada perjalanannya kita juga merancang program dan didukung oleh lembaga donor namun itu dulu karena sekarang petanya sudah berubah. Lebih lanjut lagi ia mengatakan untuk tahun ini hanya ada satu lembaga donor itu pun sudah hampir habis masa kontrak kerjanya. “Memang ada perubahan gerakan di tubuh LBH khususnya dalam hal pendanaan. Memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan capital.”

Vico.DJ

Minggu, 06 September 2009

Selagi Masih Sempat Kuliah

Selagi Masih Sempat Kuliah


Hidup ini akan ku abdikan untuk pergi ke kampus, kuliah dan mencari nilai setinggi-tingginya sembari menunggu negeri ini hancur


Hari ini seorang mahasiswa muda bersiap memasuki kelas yang telah cukup lama ia tinggalkan. Entah kenapa pagi itu terlihat berbeda dari biasanya. Kemeja lusuh yang sejak tiga hari lalu ia pakai, hari itu masih setia mendukung penampilannya agar terlihat lebih rapi. Setengah jam lagi kelas pertama akan dimulai, dan setengah jam lagi pula ia akan segera bertemu teman-teman sekelasnya. Teman- teman yang sangat peduli dengan kuliah dan belajar dan sangat bersemangat mengejar nilai setinggi-tingginya. Ya..mungkin tidak salah bagi seorang mahasiswa yang memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjadi kebanggaan orang tuanya.

Setengah jam lagi, mungkin setengah jam berikutnya, atau bahkan satu jam setelah setengah jam tadi, sang dosen yang dinanti akan segera tiba. Sudah menjadi tradisi di lingkungan kampus jika dosen datang terlambat harap mahasiswa maklum, sebab mungkin sang dosen terlalu sibuk dengan ‘urusan’ lain yang lebih mengutungkan. Namun lucunya bila mahasiswa yang datang terlambat, jangan harap si dosen akan memberikan nilai sempurna di akhir semester.

Suasana kelas pagi itu belum terlalu ramai. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sibuk merapikan catatan dan mengerjakan tugas. Sementara yang lain asik mendiskusikan gosip-gosip yang masih hangat atau sekedar mereview rencana, Mall mana lagi yang akan mereka datangi minggu ini. Bagi mereka kegiatan seperti itu lebih menyenangkan dibandingkan membaca buku. Apalagi buku-buku yang membuat isi kepala rasanya ingin keluar semua karena bahasanya yang terlalu ilmiah. Itulah keunikan mereka, malas membaca buku karena bahasanya yang terlalu ilmiah. Padahal hal-hal ilmiah seharusnya menjadi sesuatu yang lumrah bagi kalangan akademisi, khususnya mahasiswa yang selama ini mengklaim diri sebagai kalangan intelektual.

Negeri ini masih beruntung, kelas dalam ruang kuliah itu masih terlihat penuh. Banyak pemuda dan pemudi yang masih sanggup melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak pemuda dan pemudi yang terpaksa harus gigit jari karena tabungan orang tua nya tidak cukup untuk membayar uang pangkal. Tidak ada pilihan bagi mereka selain mencari pekerjaan supaya bisa menghasilkan uang. Walau hanya akan menjadi buruh murah, karyawan kecil atau bahkan sales yang nasibnya hanya dijadikan korban eksploitasi kapitalis.

Dasyat memang. Fenomena seperti ini hampir terjadi setiap tahunnya. Bukan hanya di Jakarta, namun menyeluruh di seluruh kawasan nusantara. Rasanya sungguh ironi, dalam mata pelajaran sejarah pemuda selalu dibanggakan sebagai kalangan yang memilki andil besar dalam meraih kemerdekaan. Peristiwa Sumpah Pemuda dan penculikan Soekarno-Hatta oleh para pemuda ke Rengasdengklok menjadi titik awal lahirnya negeri ini.

Namun kini, pemuda Indonesia malah terbelenggu dalam sistem yang mereka jalani sendiri. Mahasiswa lebih sibuk kuliah dan hura-hura dari pada memikirkan pendidikan yang semakin mahal hingga tidak sadar banyak pemuda lain yang tidak sanggup lagi menggapainya. Oh..iya, maklum saja mungkin mereka sebelumnya sudah mengintip isi dompet orang tuannya yang masih tampak tebal tanpa menganalisa bagaimana beratnya mencari uang.

Kelas sudah terlihat lebih ramai, teman-teman sekelas sudah mulai berdatangan. Seperti biasa sang dosen mungkin akan terlambat lagi. Namun tidak masalah karena mahasiswa muda itu hari ini memang berniat kuliah. Ia ingin mencicipi kelas ini sekali lagi. Sebelum besok, lusa, atau saat pemerintah mulai mengesahkan kebijakan pendidikan mahal dan saat orang tua nya tak mampu lagi membiayai kuliahnya.