Sabtu, 17 Oktober 2009

Menyusun (Ulang) Mozaik Indonesia

“Dari Sabang sampai Merauke berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia…”


Itulah penggalan salah satu lagu nasional karya R Suharjo. Terakhir kali saya mendengarnya pada perayaan HUT Kemerdekaan RI yang lalu. Setiap tahun, bila saya menyaksikan upacara bendera di televisi, lagu itu selalu dinyanyikan bersama dengan lagu nasional lainnya.

Sewaktu masih SD, seorang guru pernah mengatakan pada saya bahwa lagu itu menjadi salah satu simbol betapa besar dan megahnya negeri ini. “Indonesia negeri yang kaya, kaya akan suku, budaya, agama, serta sumber daya alamnya tapi tetap menjadi satu,” begitu kata si guru.

Saya berpikir, betapa hebatnya negeri ini. Sebab bukan perkara yang mudah, menyatukan ribuan pulau yang berisi ratusan budaya menjadi satu kesatuan dalam sebuah negara. Bahkan Ibnu Choldun, seorang Filusuf Islam, pernah mengatakan, semakin tinggi tingkat pluralitas suatu bangsa, semakin tinggi pula resiko perpecahannya. Begitulah Indonesia, bangsa majemuk terbesar di dunia namun rawan perpecahan. Bukan hanya sekedar etnik yang jumlahnya mencapai ratusan suku, tetapi juga agama dan ras.

Namun nyatanya Indonesia mampu bertahan, bahkan setelah enam puluh empat tahun berdiri. Kebanggaan sebagai bangsa yang majemuk dahulu selalu dielu-elukan oleh pemerintah dan kalangan sipil lainnya. Namun mengapa seiring perkembangan zaman kebanggaan itu kini seakan memudar dan mulai menghilang.

Sudah banyak peristiwa yang menunjukkan lunturnya kebanggaan akan keragaman itu, seperti konflik antar masyarakat yang berbeda pandangan, baik dalam skala besar ataupun kecil. Parahnya puncak konflik ini selalu berakhir pada konflik fisik yang pada akhirnya menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebut saja konflik antar suku Madura dan Dayak yang pernah terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Peristiwa ini merupakan bukti bahwa di Indonesia, sudah tidak lagi rasa saling menghargai dan menghormati antar suku.

Atau yang tidak kalah mengerikan, konflik Ambon dan Poso. Konflik yang sebenarnya dilatarbelakangi masalah politik ini pada akhirnya malah menarik isu agama. Masyarakat beragama Kristen dan Islam yang sebelumnya hidup berdamai tiba-tiba berubah seperti binatang. Setahu saya, kedua agama ini sama-sama mengajarkan perdamaian dan cinta kasih, namun mengapa umatnya tega untuk saling membunuh.

Konflik dalam skala yang lebih kecil juga sering terjadi. Biasanya permasalahan yang memicu adalah sentimen keagamaan dan sentimen sosial. Di Jakarta, pada pertengahan tahun 2001 pernah terjadi pembubaran jemaat Kristen yang sedang beribadah oleh sekelompok masyarakat yang merasa terancam akan isu Kristenisasi. Atau kasus yang paling dekat adalah pembubaran kelompok Ahmadiyah dan Lia Eden yang dianggap sebagai aliran sesat. Terlepas dari sesat atau tidak, pelarangan untuk menjalankan ibadah berarti melanggar ketentuan UUD 45 pasal 29 yang mengatakan “Negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya itu”.

Konflik antar kampung juga sering terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Hanya kerena masalah sepele namun berujung pada tauran massal, seperti yang belum lama terjadi di daerah Manggarai, Jakarta Selatan. Semakin lama, konflik-konflik ini makin menjurus pada perpecahan bangsa. Indonesia terancam mati muda.

Terkadang saya berpikir, mengapa semua kejadian ini terjadi justru saat Indonesia memasuki era Reformasi setelah puluhan tahun terkekang otoritarian negara. Apa sebenarnya selama ini kebanggaan itu hanya bersifat semu atau bahkan tidak ada.

Benedict Anderson, seorang Indonesiais, pernah menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi berbagai unsur atau kelompok masyarakat dan dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Praksis, saat kekuatan otoriter itu melemah, masyarakat daerah mulai membangun kekuatan dari dalam. Potensi konflik membesar ketika masyarakat daerah frustasi dan kecewa akan kebijakan pemerintah pusat yang tidak pernah memerhatikan kesejahteraan daerah. Masyarakat daerah yang selama ini merasa tertinggal mulai bangkit melawan. Jika sudah begini konflik akan berubah menjadi konflik vertikal, yakni antara masyarakat dengan negara.

Di Indonesia, klimaksnya terjadi ketika Aceh, Papua, dan beberapa daerah lain ramai-ramai ingin memisahkan diri. Walau masih bisa mempertahkan daerah tersebut, namun Indonesia harus rela kehilangan Timor-Timur yang akhirnya merdeka menjadi negara yang berdaulat.

Mei 2009 yang lalu saya sempat menghadiri acara simposium pers mahasiswa tingkat nasional di UGM, Yogyakarta. Di sana saya sempat berkenalan dengan seorang teman dari Universitas Riau. Dalam sebuah sesi diskusi, saya tersentak ketika mendengar cerita bahwa sekretariatnya pernah menjadi tempat perumusan deklarasi Riau Merdeka. Para perumus itu merasa tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat dan berencana untuk merdeka.

Pengalaman tadi seakan menunjukkan betapa bangsa ini semakin jauh dari apa yang disebut kedamaian dan ketentraman. Pada masa orde baru berkuasa, kedamaian yang terjadi hanya klise karena sistem pemerintahan yang dipakai adalah sentralistik. Sentralistik hanya akan menciptakan suatu sistem pemerintahan diktatorial, yaitu saat aset dan kekayaan potensial daerah dikuasai dan diperuntukkan bagi kepentingan pusat. Semboyan kesatuan dan persatuan hanyalah kedok yang menyembunyikan ketamakan untuk mengekploitasi sumber daya alam daerah.

Sistem ini terlalu menyeragamkan perbedaan yang ada. Setiap perbedaan tidak diberi keleluasaan untuk menampilkan diri secara wajar dan otonom. Perbedaan malah berpeluang untuk ditafsir sebagai hal yang dapat membahayakan stabilitas kepentingan negara.

Wajar bila banyak daerah yang merasa tidak puas dan frustasi terhadap pemerintah pusat. Di saat yang bersamaan identitas kedaerahan yang sedang meningkat tidak dilandasi pemahaman terhadap kelompok lain, jadi ketika ada pihak lain yang memprovokasi, potensi pecahnya konflik akan semakin membesar.

Multikulturalisme dan Kemandirian Daerah

Perlu usaha yang penuh serta komitmen yang kuat bila ingin menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. Hal yang pertama adalah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan multikulturalisme.

Integrasi tidak sebatas sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan. Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar.

Konsekuensinya ialah menempatkan manusia sebagai subyek. Masyarakat diberikan perangkat hak untuk mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Akan tetapi, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antar unsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak terjadi primordialisme baru.

Selain itu perlu juga memberikan otonomi khusus pada daerah agar tingkat kesejahteraan mereka dapat meningkat. Hal ini sudah dilakukan saat pemerintah orde Reformasi berkuasa, namun hingga hari ini masih banyak daerah tertinggal yang belum mencicipi manisnya hasil pembangunan.

Kebijakan otonomi yang diberikan pada prakteknya hanya sebatas pada penyederhanaan birokrasi dari pemerintah pusat ke daerah. Namun untuk kebijakan paling mendasar yakni pengelolaan sumber daya alam, negara masih terlihat berat sebelah dan belum berpihak pada daerah. Jutru negara lebih cenderung berpihak pada modal asing yang akhirnya melegalkan kapitalisme hingga mengurangi kesejahteraan daerah.

Contoh paling konkrit adalah Papua. Provinsi paling Timur Indonesia itu hingga hari ini masih tergolong daerah tertinggal. Padahal di tanah ini terdapat tambang emas terbesar di dunia yang sayangnya dikelola dan dinikmati oleh negara asing.

Pendidikan Dialogis

Semangat saling menghormati antarkelompok dengan kelompok lain pun perlu mendapatkan praksis ketat. Ini dapat dilakukan lewat pendidikan karena pendidikan merupakan jalan paling tepat untuk membangun bangsa ini. Pertanyaannya, bagaimana dapat mengorientasikan peran pendidikan agar mampu melahirkan manusia-manusia yang menghargai perbedaan dan berdiri kokoh di atas prinsip dasar multikulturalisme? Untuk menuju ke arah itu terlebih dahulu pemerintah harus memeratakan askes pendidikan ke seluruh lapisan masyarakat dengan mengupayakan pendidikan gratis. Setelah berhasil barulah mulai merubah sistem pendidikan menjadi lebih baik lagi.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dialogis. Dalam kehidupan manusia, termasuk dalam dunia pendidikan, dialog menjadi pijakan inti dari sebuah kemajuan dalam perkembangan peradaban manusia. Dialog merupakan awal dari bangkitnya kesadaran untuk saling mengenal antara satu golongan dengan golongan lain agar terjadi transformasi ide, gagasan, dan pemikiran.

Hal ini kemudian dapat melahirkan satu bangunan hidup yang berbalutkan nilai-nilai kemanusiaan, bukan antikemanusiaan. Pola dialog secara gradual akan menghilangkan dikotomi di beberapa pihak yang terlibat dalam dialog tersebut.

Dalam dialog, anak didik juga diajak untuk berpikir kritis dan transformatif ketika melihat sebuah realitas. Hal itu penting bila diimplemintasikan dalam dunia pendidikan sebab model seperti ini akan menumbuhkan sikap yang selalu meragukan dan mempertanyakan realitas yang ada di depannya.

Ketika terjadi persoalan tertentu, maka anak didik akan menaruh rasa curiga terhadap sesuatu yang melatarbelakangi terjadinya persoalan tersebut. Mereka akan menganalisa dan mencari jalan keluar untuk memecahkan persoalan itu.

Sistem pendidikan semacam ini akan mengganti sistem pendidikan konvesional yang telah lama diterapkan. Sehingga akan menghindarkan anak didik dari upaya penyeragaman yang dapat menghancurkan semangat keberagaman.

Kedua cara yang telah dipaparkan di atas sangat penting untuk dilaksanakan secepatnya. Hal tersebut merupakan persoalan yang krusial dan butuh peran serta semua lapisan masyarakat, khususnya pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Jika ini dilakukan, kebanggaan akan keragaman di Indonesia bagaikan reinkarnasi dan bisa hidup kembali dari kematiannnya.

Daftar Pustaka

Yamin, Mohamad, Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta: Ar-ruzzmedia. 2009

Damai untuk Perdamaian, Jakarta: Kompas Gramedia. 2006

Harsono, Andreas, “Sebuah Kuburan, Sebuah Nama”, http//andreasharsono.blogspot.com

Soro, Johanes, “Federalisme Bagi Indonesia, Masih Pantaskah”, http://my.opera.com

Riyanto, Geger, “ Negeri Terberi atau Produk Sendiri”, http://paramadina.wordpress.com

Basuki, Sunaryo, “Republik Pecah Belah”, http://paramadina.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar