Senin, 07 September 2009

Transparansi dan Independensi Lembaga Swadaya Masyarakat

Transparansi Setengah Hati

Banyaknya LSM yang tumbuh ditengah masyarakat merupakan salah satu gejala tumbuhnya demokrasi pasca lengsernya pemerintahan Orde Baru. Namun di sisi lain banyak LSM masih tertutup mengenai trasnparansi keuangan di samping problema mengenai independensi LSM yang nota bene masih menerima sokongan dana dari pihak asing.

Hingga hari ini LSM masih mengklaim dirinya berdiri di atas kepentingan masyarakat khususnya masyarakat bawah. Memang tidak bisa dipungkiri, banyak program-program LSM yang sifatnya pemberdayaan dan advokasi terhadap masyarakat. Sebut saja Bina Desa dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) yang acuan kerjanya cendurung pada program pemberdayaan masyarakat atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang lebih kepada bidang advokasi. Dan masih banyak lagi LSM yang tersebar di Indonesia baik yang sifatnya nasional ataupun regional.

LSM memang sudah menjadi salah satu pilar demokrasi di Indonesia selain pers media dan tiga lembaga tinggi negara lainnya. Namun seiring perkembangan zaman, LSM belakangan ini mulai dipertanyakan transparansi dan akuntabilitasnya sebab dana yang dikelola dari suatu lembaga donor bisa mencapai milyaran jumlahnya namun efektivitas kerja mereka masih belum maksimal. Secara hukum, LSM tidak wajib melaporkan kegiatan dan uang yang dikelolanya kepada publik. Sebab, uang LSM berasal dari lembaga donor (funding agencies), terutama lembaga donor asing. Berbeda dengan perseroan terbatas-terbuka (PT) serta partai politik yang mengelola uang publik.

Selama ini LSM di Indonesia hampir selalu berbadan hukum yayasan. Sesuai dengan ketentuan UU No.16 Tahun 2001 dan amandemen UU No 28 Tahun 2004, yayasan harus diaudit oleh akuntan publik untuk keperluan perpajakan maka LSM hanya wajib lapor ke kantor pajak, bukan media. Tapi seharusnya sebagai lembaga yang mengklaim diri transparan dan terbuka LSM mesti mengumumkan laporan keuangannya juga kepada publik supaya tidak terjadi salah persepsi di masyarakat.

Meskipun pada kenyataannya sudah ada beberapa LSM yang mulai membuka kepada publik mengenai keuangan mereka, baik dalam bentuk iklan di media ataupun lewat situs-situs yang mereka miliki. Sosiolog Universitas Indonesia, Kastorius Sinaga, mengatakan bahwa yang harus dikritisi dari LSM adalah mengenai transparansi keuangan mereka, harus ada mekanisme kontrol dari segi keuangan bukan dari segi ide karena LSM yang baik adalah LSM yang mau mengumumkan hasil auditnya.

Sementara itu, Agam Faturachman, mantan Kordinator Divisi Investigasi ICW, menilai

bentuk organisasi LSM hampir mirip dengan perusahaan yang memiliki stakeholder yakni negara, pemerintah, karyawan, pendiri, pengurus, dan masyarakat. Jadi untuk pelaporan keuangan idealnya mereka juga menyampaikan laporan secara berkala pada stakeholder tersebut. Namun yang jadi masalah LSM hanya menyampaikan kepada dewan pendiri dan dewan pengawas dan ke donor saja. “Ke masyarakat juga jarang dan tidak selengkap dewan pendiri dan pengawas, paling hanya memasang di website. Kepada stafnya juga ditutupi, mereka harus terbuka soal gaji dan honor yang layak jangan sampai di bawah UMR,” ucapnya.

Di samping itu banyak kalangan LSM yang laporan keuangannya belum accountable, artinya di kalangan LSM hanya dikenal pembuatan anggaran, pencatatan aset, dan biaya pemasukan dan pengeluaran. Karena itulah banyak LSM yang tidak mengetahui nilai aset yang dimiliki, kewajiban, sumbangan yang diterima serta sisa dana akhir tahun. Padahal sudah ada standar akuntansi untuk laporan keuangan bagi lembaga nirlaba.

Untuk membentuk suatu sistem organisasi yang baik, LSM mesti membuat mekanisme yang lebih terbuka dan transparan. Manajemen yang dikelola dengan terbuka ini dapat membantu masyarakat dalam memberikan kontrol secara berkesambungan pada LSM tersebut.

Pemerintah negara kita, yang dikategorikan paling korup ketiga di dunia, masih punya mekanisme kontrol meski kinerjanya amat tidak efektif. Di LSM, hal itu tidak terjadi. Sesuai UU No 16 Tahun 2001, LSM yang hampir semua berbentuk yayasan punya badan pengurus, pengawas, pembina, dan eksekutif, dengan harapan terjadi kontrol intern. Yang terjadi, pengawas dan pembina hanya berfungsi sebagai pajangan atau terjun sebagai eksekutor hingga kontrol intern tidak terjadi, sementara kontrol ekstern memang tidak pernah ada.

Kastorius mengatakan perlu dibangunnya lembaga pengontrol bagi LSM. Menurutnya, lembaga ini di luar birokrasi negara tapi merupakan perpaduan antara tiga komponen, yakni pemerintah, lembaga donor, dan masyarakat sipil. Badan ini juga dapat berfungsi untuk memantau aliran dana yang masuk ke LSM serta menantang LSM untuk meningkatkan kualitas kerjanya. Sumber pendanaannya dapat dibiayai pemerintah namun bukan dibawah pemerintah supaya tidak tergantung lagi pada lembaga donor.

LSM memerlukan lembaga etik yang bersifat independen bukan dari pemerintah untuk menjaga reputasi dan membatasi kepentingan pragmatis dan opurtunitis yang selama ini banyak dialamatkan kepada LSM. Lembaga ini dapat menjadi pengontrol aktivitas LSM khususnya dalam mengontrol keuangan dan sumber pendanaan supaya tidak terjadi penyimpangan dan yang terpenting lagi sebagai pengontrol efektivitas kerja mereka.

Melepas Ketergantungan

Peliknya masalah pada LSM yang selalu terulang adalah sifat independensi khususnya dalam hal kinerja dan pendanaan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak LSM khususnya LSM di Indonesia yang menerima dana dari pihak asing. Menurut data dari Departemen Dalam Negeri, hingga saat ini jumlah LSM yang menerima dana asing mencapai 90 %. Dari data ini masyarakat tentunya akan bertanya kepada siapa sesungguhnya LSM bekerja.

Puncak dari banyaknya bantuan asing yang masuk ke Indonesia melalui LSM terjadi pada saat krisis ekonomi melanda dan menjelang pemilu 1999. Lalu bertambah banyak ketika terjadi bencana Tsunami di Aceh dan sekitarnya. Terkait dengan independensi ini, beberapa pengamat mengatakan ini sebagai sesuatu yang relatif. Untuk konteks Indonesia posisinya sangat kompleks tidak seperti di luar negeri yang kesadaran berpolitiknya sangat tinggi sehingga organisasi masyarakat menjadi organ yang efektif dan terpercaya dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.

Irsyad Zamjani, aktivis Centre of Asean Studi (CENAS), mengatakan walau sedikit tentunya ada pengaruh dari lembaga asing yang memberikan donor kepada LSM yang mereka sumbang. “Bagaimanapun orang kalau memberi uang tidak sekedar memberi, pasti ada agenda-agenda yang mereka tentukan. Namun bagaimana LSM menyiasati persepsi itu. Itu kan persepsi dari masyarakat bahwa NGO itu agen asing,” jelasnya. Persoalan independen dan tidak independen menjadi kompleks, tidak sesederhana itu dipersoalkan. Ada pihak yang memburu dana asing atau mendirikan lembaga untuk memperoleh dana asing. Bagaimanapun juga itu lahir dari persoalan kultur, kultur masyarakat kita dalam pembangunan LSM itu lebih rumit daripada yang kita bayangkan. LSM di Indonesia tidak seperti di luar negeri yang memliki konstituen yang setiap saat memberi iuran dan mereka bisa relatif independen

Tapi ada beberapa institusi yang tetap konsen pada gerakan social serta isu anti globalisasi dan anti kapitalisme walaupun masih bergantung pada pendonor. Institusi seperti itu biasanya lebih selektif dalam memilih dan memilah donor. Seperti Walhi yang selama ini yang tidak mau menerima donor dari pemerintah AS atau tidak mau menerima donor dari perusahaan yang memiliki track record pencemaran lingkungan.

LSM-LSM tersebut mengklaim bahwa selama ini di dalam tubuh organisasinya tidak ada intervensi dari pihak pendonor. Mereka hanya bekerja sebatas rekan kerja dalam suatu program yang mereka tawarkan. Executive Director International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), Donatus K Marut, mengakui selama ini banyak lembaga donor yang menawarkan bantuan pada lembaga yang ia pimpin. Ia menggap ini sebagai sesuatu yang wajar dan tidak perlu dipermasalahkan. Menurutnya, semua bantuan yang berasal dari luar negeri baik dalam bentuk hibah atau bukan sudah menjadi hak warga negara Indonesia. Sebab ini merupakan hak yang harus dikembalikan oleh negara-negara asing tersebut saat mereka merampasnya dari Indonesia pada masa penjajahan dulu.

Senada dengan Donatus, Kastorius menggap intervensi asing di dalam tubuh LSM itu tidak akan ada selama LSM yang bersangkutan mampu menjaga idealisme nya dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat sipil. Ini bagian dari pola ekonomi makro, ada kesepakatan dari negara-negara G7 bahwa 0,7 % dana mereka harus disalurkan ke negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dana ini untuk mengatasi ekses pembangunan setiap tahunnya. LSM mengambil alih program-program pembangunan ini pada dekakde 90 an dari pemerintah Indonesia untuk menghindari praktik korupsi yang sering muncul di lembaga pemerintahan.

Adanya ketergantungan pada pihak asing ini terjadi juga karena adanya trauma psikologis terhadap otoriterian negara. Pada masa Orde Baru masih berkuasa, para aktivis LSM sangat keras dalam mengkritik pemerintahan maka dari itu mereka tidak ingin mendapatkan sokongan dana dari pemerintah dan lebih memilih donor asing. Namun pada masa Reformasi, mulai banyak LSM yang mendapatkan dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga milik pemerintah. Salah satunya adalah PPPI. LSM yang bergerak dalam pengembangan kepemudaan ini sering mengadakan kerjasama dan mendapatkan dana dari Kementrian Pemuda dan Olah Raga. “Kita masih mendapatkan dana dari pemerintah yang jumlah lumayan besar. Jadi sayang kalau tidak dimanfaatkan,” tukas seorang aktivis PPPI

Masuk akal jika keraguan akan independensi selalu diarahkan pada LSM. Sebab di Indonesia pada tahun 2000an kalangan birokrasi dan legislatif pun banyak yang mendirikan lembaga serupa, yang biasa digelari LSM Plat Merah. LSM dengan segala bentuk dan motifnya pun hadir memenuhi hampir seluruh pelosok-pelosok negeri. LSM jenis ini menurut Kartorius hanya hadir pada saat ada proyek-proyek yang mendapatkan dana besar dan tidak jelas kinerjanya.

Independensi LSM ini sangat berhubungan erat dengan masalah keuangan dalam tubuh LSM. Permasalahan ini dapat terjawab jika LSM memiliki basis pendanaan yang bersifat mandiri, namun sayangnya di Indonesia LSM yang memiliki basis pendanaan sendiri masih terbatas jumlahnya. Salah satu LSM yang sudah mencoba untuk membangun basis pendanaan secara mandiri adalah YLBHI. LSM yang bergerak dalam bidang advokasi ini mulai tahun 1998 telah mengurangi ketergantungan terhadap lembaga donor dari luar negeri.

Agustinus Edy, Director Publication end Civil Education YLBHI, mengungkapkan bahwa lembaganya mendapatkan dukungan dari masyarakat baik secara moril mapun materil namun pada perjalanannya kita juga merancang program dan didukung oleh lembaga donor namun itu dulu karena sekarang petanya sudah berubah. Lebih lanjut lagi ia mengatakan untuk tahun ini hanya ada satu lembaga donor itu pun sudah hampir habis masa kontrak kerjanya. “Memang ada perubahan gerakan di tubuh LBH khususnya dalam hal pendanaan. Memanfaatkan sumber daya yang ada untuk menghasilkan capital.”

Vico.DJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar