Sabtu, 31 Juli 2010

Terasing di Negeri Sendiri


Ratusan kilometer jarak yang ditempuh Arnold Panahal tidak menjadi jaminan tujuannya akan tercapai. April yang lalu, ia berangkat dari kampung halamannya di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara menuju Jakarta untuk mengikuti putusan gugatan pencabutan UU No.1/PnPs/1965 tentang Penodaan dan Penistaan Agama. Sebagai penghayat kepercayaan, Arnold meyakini bahwa isi dari undang-undang itu tidak berpihak pada mereka karena bersifat diskriminatif. Namun, apa mau dikata, putusan akhir sudah ditetapkan. Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut dengan hasil sidang 8:1.

Arnold dan penghayat kepercayaan lainnya jelas kecewa terhadap keputusan ini. Harapan untuk mendapatkan pengakuan dari negara sebagai keyakinan yang resmi serta perlakuan yang adil pupus sudah.

Sebenarnya, pada UU Dasar 1945 pasal 29:2 menyebutkan, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya tersebut. Keputusan itu menunjukkan bahwa aliran kepercayaan diakui sebagai bentuk keberagaman yang sah. Namun, pada praktiknya negara malah melakukan dikotomi terhadap agama dan kepercayaan di Indonesia.

Dikotomi itu terwujud dalam UU No.1/PnPs/1965 Pasal 1 dan Tap MPRS No XXVII/MPRS/1966 yang menyatakan hanya ada enam agama resmi yang diakui di Indonesia, yaitu; Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Sementara itu, penghayat kepercayaan dikategorikan dalam agama tidak resmi.

Hal ini menjadi problema besar bagi para penghayat kepercayaan. Akibat peraturan ini mereka selalu mendapatkan tekanan melalui pembatasan hak-hak sipil dan politik, seperti tercermin dalam masalah perkawinan di catatan sipil, dan masalah akte kelahiran. Bahkan, dalam urusan mendirikan rumah ibadah pun sulit karena seringkali terdesak oleh perlakuan represif dari pemeluk agama mayoritas.

Bukan hanya itu, anak-anak mereka pun mengalami diskriminasi dalam pendidikan. Dalam kurikulum sekolah, mata pelajaran agama termasuk dalam mata pelajaran yang wajib diikuti. Namun, mata pelajaran agama di sekolah formal hanya mengakomodasi enam agama resmi saja. Penghayat kepercayaan harus memilih salah satunya karena aliran kepercayaan tidak diakui dalam sistem pendidikan.

Jika ditelisik secara historis, dalam salah satu pasalnya, UU No. 1/PnPs/1965 sebetulnya dibuat dalam rangka menjaga semangat revolusi bangsa Indonesia;

"...di seluruh Indonesia tidak sedikit timbul aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Di antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan Nasional dan menodai Agama”.


Pemerintahan Soekarno beranggapan, penodaan agama berpotensi mengancam revolusi dan perpecahan karena kondisi negara yang belum stabil. Namun, pasca Orde Lama runtuh dan digantikan dengan Orde Baru hingga sekarang berganti lagi menjadi Orde Reformasi, undang-undang tersebut justru menjadi legalitas dalam melakukan tindakan diskriminatif dengan wujud pembatasan hak beragama dan berkeyakinan.

Undang-undang itu juga merupakan cerminan betapa lemahnya pemahaman negara akan makna sebuah agama. Negara hanya memahami agama pada pemahaman mainstream yang harus memiliki Pembawa Risalah (Nabi) dan Kitab Suci seperti Islam, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Inilah yang menjadikan aliran kepercayaan tidak disebut sebagai agama.

Realitas itu menunjukkan terjadinya penunggalan tafsir agama yang sekadar memenuhi unsur-unsur mekanik, bukan makna substansial yang mendasari kepercayaan terhadap Tuhan.

Jauh sebelum agama-agama resmi datang, bangsa Indonesia sudah menganut kepercayaan kepada Tuhan (animisme dan dinamisme). Karen Armstrong dalam Sejarah Tuhan, menyebut kepercayaan ini sebagai monoteisme primitif, percaya kepada Tuhan yang Esa.

Aliran kepercayaan ini adalah agama yang hidup di dalam komunitas adat. Dengan kata lain, aliran kepercayaan adalah agama lokal yang ditemukan sendiri oleh masyarakat Indonesia. Ironisnya, agama lokal yang justru sudah ada lebih dulu dibanding agama-agama resmi, kini malah terasing di negerinya sendiri.

Terjebak Praktik Kapitalisme

Tersingkirkannya masyarakat adat dalam proses-proses politik pembuatan kebijakan publik menimbulkan beragam konflik dan berdampak ekologis yang merugikan masyarakat adat dan penduduk lokal lainnya.

Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat dan agama lokal pun hanya sebatas pada bingkai ekonomi, pariwisata, dan kebudayaan yang tentu saja akan mereduksi nilai-nilai dasar yang mereka yakini. Agama lokal dan masyarakat adat selama ini hanya dijadikan bagian dari daya tarik internasional untuk dipertononkan sebagai kekayaan bangsa dalam jargon-jargon pariwisata.

Bukan itu saja, minimnya regulasi yang menjamin dan melindungi keberadaan mereka pada akhirnya mengancam eksistensi mereka dalam mempertahankan tanah adat. Selama ini masyarakat adat dan penghayat kepercayaan banyak yang tinggal di pedalaman. Ini mereka lakukan demi menjaga dan melestarikan tanah adat peninggalan leluhur. Selain itu, tanah-tanah adat ini pun sudah menjadi bagian dari kehidupan religius mereka karena sering digunakan dalam kegiatan-kegiatan ibadah.

Namun, negara justru berlaku kontradiktif dengan membiarkan tanah adat itu dieksploitasi secara besar-besaran oleh pemilik modal. Beberapa kasus di Indonesia seringkali diwarnai konflik antara pemerintah, masyarakat adat, dan juga pemilik modal. Hal ini dikarenakan tidak adanya kesepakatan antar pihak-pihak yang terlibat. Kalaupun ada, kesepakatan itu seringkali merugikan masyarakat adat.

Padahal Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang turut serta menandatangi Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat di New York, Amerika Serikat pada 2007 lalu.

Salah satu pasal deklarasi itu menyebutkan bahwa masyarakat adat tidak boleh dipindahkan secara paksa dari tanah atau wilayah mereka. Tidak boleh ada relokasi yang terjadi tanpa persetujuan bebas dan sadar, tanpa paksaan dari masyarakat adat yang bersangkutan, dan hanya boleh setelah ada kesepakatan perihal ganti kerugian yang adil dan memuaskan.

Secara tidak langsung Indonesia telah melanggar komitmennya sendiri dan telah menghianati kesepakatan yang telah disetujui negara-negara di dunia.
Saya meminjam pernyataan Mas Marco Kartodikromo, seorang tokoh nasional pada awal kemerdekaan; manusia diciptakan sama dan setara. Kodrat aslinya adalah kebebasan menentukan diri dan membuat pilihan-pilihan sesuai dengan martabatnya. Manusia jangan sampai terjatuh dalam pengkotakan ras, etnis, agama, kepercayaan, budaya, dan aliran ideologinya akibat kerakusan dan kepongahannya.

Untuk menuju tahap itu, Indonesia harus berbenah diri dan berkomitmen untuk melakukan perubahan. Hal ini dapat dipelopori oleh para pemuda yang memiliki jiwa pembaruan dan semangat kemajuan yang lebih besar layaknya pemuda yang tergabung dalam kongres Sumpah Pemuda 1928. Mereka dapat menggunakan dua pendekatan sebagai langkah konkrit, yakni;
1.) Pendekatan pada tataran perilaku masyarakat dengan mengedepankan rekonsiliasi, pendidikan multikultural dan membangun mediasi-mediasi baru untuk meminimalisir stigmatisasi di antara berbagai komponen masyarakat, terutama stereotip yang merugikan kepentingan hidup bersama.
2.) Pendekatan regulasi dengan mempromosikan HAM kultural, mulai dari pengajuan kebijakan hingga kerja-kerja aktif mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM.
Jika ingin menjadikan Indonesia sebagai negara modern, agama dan kepercayaan masyarakat harus ditempatkan dalam ruang publik yang adil dan setara. Tugas negara adalah mengembalikan posisi agama-agama lokal yang diwariskan adat leluhur sebagai bagian integral dari hak kebebasan beragama dan mengembalikan hak-haknya setara dengan agama- agama besar.