Minggu, 23 Mei 2010

Rangkaian 889


LANGKAH kami semakin cepat. Bukan sekedar berjalan, tapi sudah setengah berlari. Stasiun Cibitung sudah di depan mata. Saya sedikit lega karena tanda-tanda kereta sudah lewat belum kelihatan. Beberapa orang yang saya yakini kalau itu calon penumpang masih terlihat duduk santai sambil menikmati segelas kopi.

“Ini duitnya,” seru Ayah saya sambil menyerahkan uang pecahan lima ribu pada saya. “Wis, nganggo iki wae, nggo pecahan ku,” balas Ibu saya sambil menunjukkan uang yang nominalnya lebih besar.

Saya menggeleng. Memberikan sinyal pada mereka berdua kalau saya sudah memegang uang untuk beli karcis. Mereka diam sambil kembali memasukan uangnya ke kantong. “Jangan lupa, tanyakan sudah sampai mana keretanya,” seru Ibu setengah berteriak.

Penumpang kereta biasa menanyakan hal ini pada penjual karcis. Bagi konsumen, informasi ini penting agar dapat bersiap-siap sebelum kereta datang atau sekedar memberi informasi pada teman yang belum sampai di stasiun.

“Sudah sampai mana, mas?” tanya saya sambil menyerahkan uang.

“Cikarang,” jawab petugas itu singkat.

Jarak stasiun Cikarang dan Cibitung cuma selisih satu. “Itu berarti kereta sudah mau sampai,” ujar saya dalam hati.

Stasiun Cibitung sebetulnya belum layak disebut stasiun. Tempatnya kecil. Gerbang utama saja tidak ada. Di tempat ini hanya ada satu petugas stasiun yang merangkap sebagai penjual loket. Peron stasiunnya bahkan lebih mirip dengan trotoar.

Panjangnya sekitar 50 m² terbagi atas dua bagian, di sebelah kiri dan kanan. Peron sebelah kiri biasanya digunakan untuk pijakan penumpang kereta dari arah Cikampek menuju Jakarta. Sedangkan peron sebelah kanan sebaliknya.

Namun, sering kali penumpang tidak mendapatkan peron. Sebab panjang rangkaian kereta melebihi panjang peron. Akibatnya beberapa orang sering kelihatan kesulitan saat naik atau turun dari kereta. Jarak antara permukaan tanah yang belum dibangun peron dengan bibir pintu bisa mencapai satu meter.

Buat penumpang wanita hal ini menyulitkan. Makanya, banyak dari mereka yang memilih naik atau turun lewat peron dan membuat antrian yang agak panjang. Beberapa penumpang yang kurang “gesit” sering kali terpaksa harus ketinggalan kereta. Mereka kalah cepat karena kereta hanya berhenti setengah menit.

Paling sial kalau sedang turun hujan. Penumpang kereta harus kerepotan mencari tempat berteduh. Di stasiun ini tidak ada kanopi yang tersedia seperti di stasiun-stasiun lain. Namun, kami cukup beruntung karena di pinggiran stasiun berdiri lapak-lapak pedagang.

Lapak mereka multifungsi. Sebagai tempat berteduh dan tempat membeli makan untuk sarapan ala kadarnya. Rata-rata penjual disini menjual makanan ringan dan tradisional. Harganya pun cukup terjangkau.

Saya pun menyempatkan sarapan. Segelas teh hangat dengan dua kue risoles sudah cukup “mengganjel” perut saya yang memang belum sempat terisi.

Baru saja saya menghabiskan satu kue tiba-tiba “sinyal” tanda kereta tiba mulai muncul. Beberapa pedagang buah mulai meletakkan dagangannya di pinggiran rel. Hal ini mereka lakukan agar lebih mudah mengangkat barang dagangannya ke atas gerbong. Pedagang inilah yang menjadi sinyal buat penumpang lainnya. Jika mereka sudah siap itu artinya kereta akan segera datang.

“Tuunn...tuuunnn..tuuunn....” suara kereta mulai terdengar.
‘Tuunn..tuuuunnnn..” suara itu makin keras.

“Jek...jek......jeeekkk....jek....” Kereta itu lewat begitu saja. Ia berjalan cepat dan tidak berhenti di stasiun. Ternyata itu kereta yang salah.

“Huuuu...huuuuu,” seru para penumpang.

Kejadian seperti tadi sering terjadi. Penumpang salah mengira kalau kereta sudah datang, padahal kereta yang lewat adalah kereta lain. Biasanya kereta yang lewat lebih dulu itu yang kelasnya lebih tinggi atau yang lebih mahal tarifnya. Ini sudah jadi hal yang lumrah buat pengguna kereta, jadi tak ada yang kesal ataupun marah.

Saya kembali duduk. Kue risoles dan segelas teh yang tersisa tadi sudah dibereskan oleh pemilik warung. Penumpang lain yang sempat berdiri tadi pun sebagian kembali ke tempatnya masing-masing.

Sekitar lima menit kemudian “sinyal” kereta mulai terlihat. Kali ini sepertinya kereta benar-benar akan datang sebab petugas loket juga sudah mengumumkan kedatangan kereta lewat megaphone stasiun.

Kereta jurusan Jakarta Kota segera datang dari arah timur. Penumpang yang telah memiliki karcis harap segera bersiap-siap di peron stasiun...

Suara itu terdengar seiring datangnya kereta Rangkaian jurusan Jakarta Kota. Lokomotifnya berwarna merah sedangkan gerbongnya berwarna kuning. Panjang gerbongnya mencapai sepuluh gerbong. Itu berarti kereta hari ini cukup panjang dan ada harapan kalau kereta tidak akan terlalu sesak.

Semua kereta yang lewat dan berhenti di stasiun Cibitung adalah jenis kereta Kereta Rel Diesel (KRD). Kereta Rel Listrik atau KRL tidak bisa lewat sini sebab sambungan listrik yang menjadi sumber energinya belum dibangun.

Kereta ini datang setiap hari. Pagi hari dan sore hari menjelang malam. Kebanyakan penumpang yang naik adalah mereka yang bekerja di Jakarta namun berdomisili di sekitar Bekasi hingga Karawang.

Selain kereta Rangkaian ini, ada dua kereta lain yang juga “digemari” penumpang. Odong-odong dan juga Patas. Namanya memang unik. Penumpang keretalah yang memberikan sebutan itu. Mereka paling jago kalau dalam hal pemberian istilah kereta.

Saya pernah iseng bertanya pada teman saya yang juga pelanggan kereta, dari mana istilah Odong-odong dan Patas itu. Dia menjawab kalau Odong-odong disebut seperti itu karena jalannya lambat sekali mirip seperti odong-odong. Sedangkan kalau Patas karena kereta ini tidak berhenti di semua stasiun, jadi waktu tibanya juga lebih cepat. Selebihnya hanya untuk membedakan nama saja. Kereta yang saya naiki ini punya istilah sendiri: Rangkaian. Begitu singkat dan mudah diingat.

***

“Ciiitttt...ciiiitttt” suara rem kereta berbunyi keras.

Calon penumpang Rangkaian sudah siap di posisinya masing-masing, begitu juga saya. Kami sadar waktu kami untuk naik ke atas kereta tidak lebih dari satu menit. Saat kereta berhenti, seketika itu pula penumpang berebut untuk naik.

Beberapa penumpang terlihat sempat membantu penumpang lain yang kesulitan dengan cara mendorong ataupun menariknya masuk ke dalam gerbong. Saya agak terlambat, tapi masih sempat naik.

Ayah dan Ibu saya sudah naik lebih dulu. Tidak disangka ternyata mereka lebih gesit dari saya. Mereka berdua bisa dibilang pengguna setia kereta api. Hampir setiap hari mereka pergi dan pulang kerja naik kereta. Katanya, selain murah, naik kereta juga bebas macet dan cepat sampai.

Saya naik di gerbong nomor tiga dari belakang. Penumpangnya cukup ramai. Terpaksa saya harus rela berdiri karena tidak ada bangku kosong yang tersisa. Saya berdiri tidak jauh dari pintu. Memang sengaja, agar mudah keluar pada saat sampai nanti.

Tujuan saya stasiun Klender. Jaraknya cukup jauh, lama perjalanannya sekitar setengah jam dan berhenti di beberapa stasiun. Nah, setiap pemberhentian inilah penumpang kereta akan terus bertambah banyak. Kapasitas penumpang dalam satu gerbong sebenarnya hanya 106 orang. Namun, dalam prakteknya bisa mencapai dua kali lipatnya.

Di dalam gerbong, penumpang yang beruntung mendapatkan duduk mulai melakukan aktivitasnya. Ada yang tertidur, baca koran, mengobrol, atau bahkan main kartu. Di sebelah saya, beberapa laki-laki yang duduk berkelompok langsung mengeluarkan setumpuk kartu domino. Jumlahnya lima orang dan tampaknya sudah saling kenal. Salah satu dari mereka menggunakan koran Radar Karawang sebagai meja permainan.

Saya sekilas memerhatikan koran itu. Di headlinenya tertulis,”LONGSOR DI CIATER”. Beberapa orang yang melihat berita itu pun langsung membicarakan kejadian itu sebagai bahan obrolan mereka.

Sementara para penumpang asik dengan kegiatannya masing-masing. Beberapa pedagang pun sibuk lalu-lalang menjajakan dagangannya. Situasi seperti ini lahan basah bagi pedagang. Semakin ramai, semakin besar juga dagangan mereka habis.

Pedagang-pedagang ini cukup beruntung. Nasib mereka tidak seburuk pedagang yang berjualan di KRL. Pedagang di KRL harus lebih gesit karena berhadapan dengan petugas Trantib yang melarang pedagang naik ke dalam gerbong. Katanya demi kenyamanan penumpang. Padahal penumpang sendiri tidak pernah mengeluhkan hal itu.

Bagi saya keberadaan penumpang kereta dan pedagang seperti simbiosis mutualisme. Mereka saling menguntungkan dan saling membutuhkan.

Tidak terasa perjalanan saya sudah mau sampai. Dari jendela gerbong terlihat papan stasiun bertuliskan, STASIUN BUARAN. Papannya berwarna biru dihiasi garis-garis hitam dan kuning.

Saya memerhatikan sekilas ke luar jendela. Stasiun Buaran kini agak berbeda, lebih terawat dan bersih. Dulu, diantara semua stasiun yang dilewati oleh KRD dan KRL, stasiun Buaran lah yang paling tidak terawat, hampir mirip dengan stasiun Cibitung.

Setelah stasiun Buaran pemberhentian selanjutnya adalah stasiun Kelender. Itu berarti saya harus siap-siap turun. Saya berdiri dan berjalan perlahan-lahan ke arah pintu. Penumpang kereta sangat padat hingga menyulitkan saya untuk keluar. Penumpang yang mau turun juga harus gesit sebab kalau tidak bisa terbawa kereta sampai stasiun berikutnya.

“Ciiittt...ciitttt..” suara rem kereta kembali berdesit.

Kereta sudah sampai. Saya segera keluar dan melompat turun dari kereta. Beberapa penumpang lain yang juga turun mengikuti di belakang saya.

“Hupp...akhirnya sampai juga,” ujar saya dalam hati.

Kereta Rangkaian berhenti agak lama. Para petugas stasiun sedang sibuk “mengusiri” penumpang yang nekat duduk di atas gerbong. Beberapa di antara penumpang itu adalah anak-anak.

“Woi..turun kamu!! Ayo turun...barusan ada yang kesetrum..mau kamu kesetrum!” seru seorang petugas pada anak-anak itu.

Entah benar atau tidak omongan petugas itu, sekelompok anak itu akhirnya turun juga. Salah satu dari mereka agak kesulitan turun dari atas gerbong. Kelihatannya ia masih sangat muda. Umurnya sekitar delapan tahun. Ia tidak mengenakan alas kaki. Kulitnya hitam dan mengenakan baju berwarna orange dengan tulisan The Jak Mania di dadanya.

Petugas itu membantunya turun sementara beberapa penumpang yang menyaksikan kejadian itu tersenyum melihat cara anak itu turun.

“Huppp” anak itu berhasil turun.

Seketika itu pula petugas stasiun memberikan aba-aba agar kereta melanjutkan perjalanannya.
Keadaan aman. Masinis Rangkaian 889 dipersilahkan kembali berjalan...

“Tuutttt..tuutttt” suara kereta berdesis keras.

Anak kecil tadi berlari menuju kereta itu berusaha mencari pintu kereta yang masih bisa ia masuki. Ia menghilang, masuk di antara celah-celah sempit dan berlalu bersama dengan penumpang lain di dalam gerbong Rangkaian 889 itu.

Selasa, 18 Mei 2010

Rumahku Sekolahku


“Tak ada sekolah, Rumbel pun jadi”

Masuk ke ruang kelas Rumah Belajar (Rumbel) Cilincing bagaikan berkunjung ke rumah pribadi. Maklum, ruang itu memang tidak seperti ruang kelas pada umumnya. Tidak ada meja. Tidak ada kursi. Hanya ada sebuah whiteboard portable yang difungsikan untuk menulis dan sebagai sekat bila ruangan ingin dibagi menjadi dua.

Ruang kelas itu merupakan salah satu bagian dari gedung rumah belajar. Gedungnya berbentuk rumah. Enam puluh kilometer persegi kira-kira luasnya. Dan dibangun di tanah milik PT. Pelindo II, sebuah perusahaan pelabuhan yang beberapa waktu lalu terlibat perselisihan dengan warga Koja, Jakarta Utara.

Di lokasi ini sudah dibangun banyak rumah. Rata-rata pemiliknya adalah pegawai Pelindo II. Jalan menuju Rumbel bagi saya mudah diingat. Letaknya strategis karena berada paling ujung dari arah pintu gerbang utama.

Cat temboknya berwarna krem sedangkan pagarnya berwarna hijau tua. Tepat di depan pagar terpasang spanduk berukuran 1x2 meter yang bergambar foto-foto kegiatan. Di spanduk itu tertulis, “Rumah Belajar Cilincing JICT” dengan background biru tua.

Untuk ukuran komunitas belajar, ruangan itu termasuk luas. Apalagi jumlah peserta rumbel tidak terlalu banyak, hanya sekitar lima belas sampai dua puluh lima orang.
Selama jam pelajaran, semua peserta Rumbel berkumpul di ruangan ini dan duduk di lantai sambil mengikuti materi yang ada. Setelah selesai, ruangan ini berubah fungsi menjadi ruang tamu, ruang keluarga, atau bahkan ruang tidur.

“Jam belajar di sini cuma dari jam sembilan sampai jam dua belas siang. Habis itu ya bebas mereka mau ngapain,” ujar Endra Prihandi.

Endra adalah salah satu pendamping rumbel. Badannya kurus, kulitnya hitam, berambut gondrong dan sedikit berkumis. Dari perawakannya terlihat seperti masih muda. Ia keberatan menjawab ketika ditanya berapa usianya, tapi mengakui bahwa ia telah berkeluarga dan memiliki dua anak.

Ruang kelas itu seperti dibuat senyaman mungkin, jauh dari kesan sekolah. Saya bahkan tak melihat ada foto pasangan Presiden yang biasanya terpampang pada dinding kelas di sekolah-sekolah umum.

Hanya ada poster propaganda dengan tema pendidikan atau pamflet yang berisi aturan dan himbauan.

Pamflet dan poster itu tersebar di beberapa sudut ruangan. Ada yang di ruang komputer, ruang musik, bahkan sampai ada yang memasangnya di kamar mandi. Isinya macam-macam, dari mulai larangan merokok sampai pada ajakan untuk tidak lupa shalat.

Paling menarik perhatian adalah pamflet yang berada di depan teras rumah. Isinya bertuliskan kalimat pendek dengan huruf kapital; BEBAS MELAKUKAN APAPUN ASAL TIDAK MENGANGGU KEBEBASAN ORANG LAIN.

“Emang sengaja ditaruh di situ, bang!” ujar Alex.

Alex merupakan salah satu peserta Rumbel. Badannya tegap, kulitnya hitam, rambutnya pendek dengan gaya mohawk. Tampaknya ia tahu betul watak anak-anak Rumbel. Alex termasuk siswa senior di Rumbel ini. Ia mengatakan, tulisan itu bisa mengingatkan setiap peserta dan penghuni Rumbel untuk dapat menjaga sikap.

Endra mengamini apa yang dikatakan Alex. Sebelum dibangun Rumbel, anak-anak di sini menganggur karena putus sekolah. Untuk mengisi waktu, mereka biasa bekerja serabutan di pelabuhan. Sekedar mencari penghasilan tambahan.

“Background seperti itulah yang membuat kami agak kesulitan waktu pertama kali datang. Lihat tampang mereka saja kami sudah jiper duluan apalagi harus ngajar,” kenang Endra sambil tersenyum.

Endra yakin kalimat ajaib di pamflet itu cukup ampuh. Menurut pengakuannya, sampai sekarang tidak pernah ada kasus pelanggaran berat terjadi disini.

“Mereka emang agak liar. Tapi saya berani jamin selama mereka di sini mereka akan jadi anak yang jujur. Bahkan, HP dan Laptop yang berserakan dilantai pun tak berani mereka sentuh.”

Udara panas Cilincing siang itu begitu menyengat. Saya berlindung di bawah teras Rumbel sembari menikmati kopi buatan Alex. Atap teras membuat saya merasa lebih nyaman. Dalam hati saya berujar, Rumbel ini selakyaknya atap teras itu, melindungi dan memayungi mimpi-mimpi peserta di dalamnya agar tak kering dan menguap dimakan panasnya matahari Pelabuhan Priok